Golput Pecas Ndahe

Desember 14, 2008 § 75 Komentar

Siapakah sebenarnya golongan putih alias golput itu? Anak kandung atau anak haram demokrasi

golput haram

Berita di Tempo Interaktif

Entah. Saya bukan bapak atau ibunya. Saya cuma merasa bahwa “memilih atau tak memilih” itu sebuah kebebasan. Ini soal kemerdekaan kita sebagai manusia yang hidup di negeri yang katanya demokratis. Apakah kemudian kemerdekaan ini harus diberi label halal atau haram?

Dalam rembang petang yang temaram, Paklik Isnogud mendengarkan pertanyaan saya itu seraya menatap langit yang muram.

“Di hari-hari ini, kemerdekaan memang tak punya banyak sekutu, Mas,” jawab Paklik Isnogud dengan suaranya yang membius itu.

“Kemerdekaan untuk memilih atau tak memilih. Sang penyensor juga tak punya banyak teman — hanya saja lebih kuat. Dan kekuatan bisa punya efek. Dalam kerangkengnya bisa tumbuh jamur membenalu.

Konotasi kemerdekaan atau kebebasan itu sendiri memang tak menenteramkan. Kita kadang jadi gentar karena kebebasan memang suatu risiko. Lalu kita mengkeret seperti penyu di hadapan pertanyaan haruskah kita menerima kemerdekaan menyatakan pikiran. Kita ragu, bersediakah kita hidup dalam keruwetan sengketa pendapat?

Mereka yang menyukai tertib akan menghalau keruwetan. Mereka selalu akan mencegah kebebasan. Masalahnya kemudian, adakah itu mungkin? Pertanyaan ini bukan sekedar menyangkut kemampuan teknis.

Dalam suatu masyarakat yang tak begitu senang melihat bendera individu berkibar-kibar, persoalan hak seperti itu terasa kurang senonoh. Namun di situlah salahnya: persoalan kebebasan menyatakan pendapat bukanlah sekedar hak orang per orang, atau selapisan elite.

Dia menyangkut penilaian kita tentang manusia, justru sebagai makhluk yang terbatas. Dia juga menyangkut penilaian kita tentang manusia, justru sebagai makhluk dalam komunitas — atau bebrayan, kata orang Jawa.

Lantas kini mungkin orang mempercayai adanya Tuhan tanpa mengakui dirinya sendiri terbatas. Dan terbatas dalam pengetahuan tentang mana yang benar dan yang tidak, terbatas pula dalam kekuasaan yang ada di tangannya, seseorang pada akhirnya harus menerima: dunia tidak pernah bisa kita bikin sempurna, tapi kita bersyukur bahwa kita hidup dengan orang lain.

Barangkali karena itulah kemerdekaan menyatakan pendapat harus diberikan bukan dengan alasan manusia adalah makhluk yang rasional, atau bahwa kemerdekaan itu penting bagi kebahagiaan. Bukan. Kemerdekaan menyatakan pendapat merupakan keharusan pokok, karena dia esensial bagi utuhnya hubungan kita dengan manusia dan kebenaran.

Kebenaran tak dapat digenggam oleh seseorang sendirian. Kebenaran pada hakikatnya adalah suatu realitas yang dimiliki bersama, asbared reality.

Ia kita masuki melalui dialog, dan dialog yang efektif mestilah ironis serta tak punya kata putus. Hanya solidaritas berkomunikasi yang bisa membuahkan itu.

Perbedaan pendapat, dengan demikian, adalah suatu rahmat. Hanya sang penyensor yang gemar menolak rahmat itu. Lalu kita pun ragu adakah ia tahu bahwa dia juga manusia.”

Langit menggelap ketika Paklik Isnogud mengakhiri piwulangnya. Suara geledek menyalak di kejauhan. Mendung tebal menggantung. Gerimis sebentar lagi jatuh. Saya dan Paklik segera menepi ke bawah tritisan pabrik.

>> Selamat hari Ahad, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean masih merasa merdeka?

Tagged: , , , , ,

§ 75 Responses to Golput Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Golput Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: