Bocah Pecas Ndahe
Desember 23, 2008 § 46 Komentar
Saya menemukan anak ini pada sebuah pagi di salah satu sudut Terminal Bus Blok M, Jakarta Selatan. Ia tengah tertidur nyenyak. Wajahnya yang polos terlihat begitu damai.
Saya tak tahu siapa nama, asal, dan siapa orang tuanya. Saya juga tak tahu ia sedang melukis mimpi tentang apa. Barangkali juga ia tak sedang bermimpi. Siapa yang bisa menebak apa isi kepala anak ini?
Tidurnya begitu tenang seolah tak terganggu oleh lalu lalang para penumpang. Bising mesin Metromini yang meraung kencang, semburan asap knalpot yang bikin sesak paru-paru tak mampu mengusik. Satu-satunya tanda kehidupan hanyalah napasnya yang teratur.
Saya menemukan foto itu di antara tumpukan dokumen-dokumen di dalam laptop ketika sedang bersih-bersih. Saya ingat, paras anak itu bersih. Begitu pula pakaian dan celananya. Ada semburat cat di rambutnya yang keriting. Oh, bocah. Siapakah engkau?
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, pecahkan karang lemas jarimu terkepal …
Ah, saya seperti mendengar suara Iwan Fals yang serak itu menyanyikan Sore di Tugu Pancoran. Tapi, saya tak tahu apakah bocah itu “si Budi kecil” seperti yang disebut Iwan? Adakah dia bocah yang “menjual koran sore di malam hari demi mimpi yang kerap ganggu tidurnya”?
Bocah itu mungkin anak jalanan yang tak berkampung, berumah, dan tanpa orang tua. Bisa jadi dia sekadar anak kampung yang kemalaman dan tak punya ongkos pulang.
Dia mungkin satu dari ribuan anak jalanan yang tiap hari bertarung melawan kerasnya hidup di Jakarta — setitik debu yang menderu bersama waktu. Siapakah yang seharusnya mengurus bocah-bocah seperti dia?
“Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara…” — UUD 1945
Tapi, di manakah negara ketika anak kecil itu tertidur nyenyak di Blok M? Adakah negara mempunyai mata, telinga, tangan, dan kaki yang sanggup merengkuh mereka?
“Kota-kota memamerkan kemiskinan dengan cara yang sangat menikam, Mas,” begitulah Paklik Isnogud pernah membisikkan kearifannya ketika malam jatuh tanpa bintang-bintang di musim hujan. “Wujudnya macam-macam. Gubug-gubug reyot, kampung becek, rakyat kelaparan, dan seterusnya.
Lalu di mana negara? Barangkali dia tak ke mana-mana. Hanya saja, kita tak tahu di mana gerangan dia berada. Negara seperti gajah gemuk yang linglung di usianya menjelang senja. Sendirian. Jauh dari kelompoknya.
Tapi bukan hanya negeri kita yang merana, seperti gajah tua di pinggir savana. Inggris, pada 1820-an, adalah negeri yang muram. Sebuah majalah yang bernama The Lion pada 1828 misalnya bercerita tentang nasib Robert Blincoe. Bukan kisah khayal, tapi tak kurang mengerikannya.
Blincoe adalah seorang anak. Sebagaimana banyak anak melarat di zaman itu, ia bekerja bersama 80 kawannya di pabrik. Dan seperti anak-anak sebayanya yang berumur sekitar 10 tahun, Blincoe bekerja siang malam — dan dicambuki. Cambuk itu bukan cuma buat menghukum yang bersalah, tapi juga buat melecut kerja lebih keras.
Bahkan ketika Blincoe dipindahkan ke pabrik lain di Litton, majikannya punya kemampuan spesial: pandai menjepit kuping buruh anak-anak, hingga kuku jarinya saling bertemu menembusi daging daun telinga.
Memang, kekejaman seperti itu merupakan bentuk ekstrim, dan bukan kelaziman. Namun Inggris, pada 1820-an, memang mengandung dasar kebrutalan itu. Buruh terinjak. Si miskin tak punya pelindung. Jam bekerja merentang keras selama 16 jam. Mereka tak bisa punya pilihan lain.
Kita mungkin jauh lebih beruntung ketimbang Inggris pada 1820-an. Kita masih bisa punya pilihan, setidaknya pilihan untuk bermimpi. Untuk hidup, Mas.”
“Begitukah caranya agar kita terus hidup, Paklik? Apakah kita harus terus bermimpi?” saya bertanya.
“Manusia harus hidup untuk sesuatu yang lebih baik,” kata Paklik mengutip Maxim Gorky. Bahwa ternyata kemudian sesuatu yang lebih baik itu terlepas lagi, agaknya, itu bukan alasan untuk mencemooh impian orang yang tiap hari diludahi kemiskinan.”
>> Selamat hari Selasa, Ki Sanak. Natal dua hari lagi. Adakah pesan-Nya telah mengetuk hati nurani sampean hari ini?
hidup memang kadang rumit pak. alhamdulillah sih dari kecil hidupku baik2 sadja 😉
oo makanya gak abis2 anak seperti itu, dipelihara yak….
dipelihara negara…. 😀
Dan kebanyakan kita mungkin cuma akan melengos dan berlalu. Mungkin negara cuma merefleksikan warganya?
aah, kasihan anak itu. apakah dia salah satu korban sindikat pengumpul gelandangan yang suka mengedrop anak-anak dan lansia di jalan-jalan dan terminal? wallahualam …
http://www.griyacom.blogspot.com
dah dah buk….
Negara mana yang memelihara fakir miskin dan anak terlantar???
kalo ndoro lewat jembatan penyebrangan di depan ITC Cempaka Mas akan lebih miris lagi… :(…
Kebanyakan dari mereka kayaknya justru di suruh sama orang tua sendiri untuk mengemis.. kadang ada anak bayi cuma pakek kutang, padahal lag ujan deres… 😦
Terkadang kesibukan berkejar-kejaran dengan waktu dan dunia, membuat kita hanya mampu menengok sebentar..kemudian pergi begitu saja tanpa memberi empati…Bagi yang punya anak, mestinya lebih terketuk 😦
Ada yang pernah menulis kalau karakter Oliver Twist-nya Dickens diinspirasi oleh sosok Blincoe.
bocah hidup dijalan kecilnya dikasihani, gedenya ditakuti
wah kasihan juga ya ndoro katanya dipelihara oleh negara terus gimana nie
mksdnya “negara memelihara” anak2 itu mungkin sebatas “mreka blh tetap tinggal di indonesia” barangkali ? … barangkali lho :d
ini mengingatkan saya pada reportase mengenai industri cokelat di Afrika Barat, “Bitter Chocolate”-nya Carol Off.
Sebagai salah satu penyuplai biji-biji cokelat terbesar di dunia, banyak negara-negara di Afrika Barat yang masih mempekerjakan buruh anak-anak, dengan upah rendah dan jam kerja yang panjang. Keselamatan mereka sangat bekerja juga tidak terjamin. Belum lagi jika mereka harus menerima perlakuan semena-mena.
Dan ironisnya, anak-anak ini bahkan mungkin belum pernah merasakan lezatnya menggigit sebatang cokelat…
Makanya sampai ada sebuah NGO luar yang menerbitkan daftar mengenai merk-merk cokelat yang “bersih”, yang tidak mengambil biji-biji cokelat dari penyuplai yang tidak bertanggung jawab.
:: Kawulo cuma sanggup trenyuh
:: sambil ngelus dada thok! nDoro …
:: sementara jalanan makin penuh sama mobil dan motor terbaru
:: anak-anak masih ‘sengaja’ terlantar
:: ugh!
:: lha mbantu ya gak bisa
:: wong saya juga ‘kere’ begini
:: cari yang salah susah, cari solusi susah
:: mbokmenawi begitu, nggih nDoro ..
::
:: salam, kenal Ndoro ..
..Negara seperti gajah gemuk yang linglung di usianya menjelang senja…
ungkapan ndoro yg itu mengingatkan saya dengan ungkapan serupa berpuluh tahun lalu …
“Ibu Pertiwi sedang hamil tua..”
the children were born into this evil world, so were we…
*jadi sedih* 😦
kata pram, jangan merasa kasian kalo ga bisa berbuat apa2. eh, ndoro ga bilang kasian ya? hehe, maap…
fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. DIPELIHARA. bukan diminimalisir…
makanya gak heran kalau makin banyak seperti itu. wong kucing yang saya pelihara aja nambah terus… 😛
tempat tidur yang tenang di terminal itulah barangkali bentuk perlindungan negara yang di singgung dalam undang undang …
Seperti kata chika, namanya juga dipelihara.
makanya sekeping receh lebih berharga daripada setumpuk kata-kata bagi mereka, karena hari ini adalah bagaimana mengganjal cacing yang berontak didasar lambung ndoro …. “negara memiliki segala hal untuk melindungi warganya, tinggal ada ngga political will dari panguasa, atau memang kemiskinan dipelihara untuk bahan kampanye !”
Ah saya malah menyoroti ungkapan Maxim Gorky.. Hidup untuk sesuatu yang lebih baik!
Itu kayaknya quote abadi ya Ndoro…
ah…saya sering melihatnya juga, tertidur lelap yg berkulit bersih ataupun yg berkulit gelap, trenyuh melihatnya.
apakah bapak ibunya tidak mencari dimana gerangan anaknya berada ya…?
http://www.griyacom.blogspot.com
heheehehe,,,,ada anak kecil jg…
ndoro, mereka tidur di terminal, berarti dipelihara negara. wong terminal kan, milik negara. 😀
Billy K.
iamthebilly.wordpress.com
bersambung.wordpress.com
jauh ndoro ! dan saya selalu masygul gak jelas begitu kita berbicara tentang negara dan kemiskinan.
ah mungkin saya sedikit beruntung.
hmm tapi hari gini kadang mereka adalah bagian sindikat dari orang tua nya sendiri atau orang lain yang tdak bertanggung jawab yang mengeksploitasi kebabalasan.. dan mengeruk keuntungan..
Sungguh postingan yang mengetuk pintu hati ini… Anak itu harus rela meninggalkan masa bahagia sebagai seorang anak… Maka bersyukurlah kita sebagai anak yang berkecukupan….
Ikut prihatin dengan negara ini, yang hanya gembar-gembor dalam UU namun tidak ada realisasi dalam bentuk nyata…
Jujur Ndoro Saya pengen nangis liat Anak itu tertidur di Trotoar seperti itu… Saya teringat sama adik saya… Dia mestinya menghabiskan masa kecilnya dengan kegembiraan dan senyum, namun apa yang dia dapat saat ini??
Jika di perhatikan lagi foto itu, dan melihat pakaian yag dikenakan kayaknya dia bukan anak gelandangan. Dia anak yang tersesat, terlihat dari pakaian yang dikenakan, masih bagus. Namun ini hanya firasat saya sajah….
negara sering ga berdaya ngurus ginian, tapi harusnya sih penduduknya jg bisa bantu
kalo meminjam istilah andrea hirata mas….
“NEGARA TAHU……TAPI MENUNGGU”
[…] Original posting […]
Jadi ingat lagu Siang Seberang Istana, ndoro. Juga karya Iwan Fals.
hhmm.. janji yang dulu mana ya…hei pak pejabat
kapitalisme dengan wajah primitive, itu yang membuat tesis karl marx lahir.
kapitalis dengan wajah primitive tersebut muncul pula saat ini dinegara-negara yang baru menganut kapitalisme.
saya concern dengan hal seperti ini, dan sudah sekian tahun berusaha membangun motivasi mereka dengan usaha individu (tanpa LSM).
sayang..saya juga terkendala berbagai macam hal
Menunggu negara bekerja gimana?
Bukankah masyarakat juga bagian dari negara?
kalo cuma nunggu pejabat dan pemerintah itu sama aja kita seperti mereka
jadi apa tindakan kita? Mungkinkah menunggu juga??
meskipun di kasur, kadang kita tidak bisa tidur selelap anak ini….
ndor.. saia rekomendasikan baca buku kerebritis… mungkin ini bisa masuk bagian dari tulisan itu..
mirip iyo, anaknya temen M nehh..
setuju ama CK…yang namanya dipelihara itu pasti tambah banyak, bukan berkurang…mungkin di amandemen aja..
Itulah hidup. Ada yg di atas atau di bawah.
Saya juga pernah tahu ada bocah yg ngamen di perempatan jalan. Lalu uangnya itu dibuat maen PS alias Playstation di rental. Sungguh menyedihkan, bocah itu mungkin kurang merasakan kebahagiaan.
“Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara…” — UUD 1945
Jangan bawa-bawa pasal ini lagi Om, saya sendiri sudah lupa & gak peduli…
hiiiiikkkkkkkkkkssssss…..
kalo kata nidji ciii mas, hidup itu harus bermimpi
“mimpi adalah kunci……”
bener kan mas????? he he he