Temaram Pecas Ndahe

April 3, 2009 § 67 Komentar

Seseorang pernah bercerita tentang cinta dan air mata. Malam sunyi diwarnai bintang-bintang membisu ketika kisah itu meluncur pelan dari bibirnya yang merekah. Mirip sebuah desah yang syahdu.

Cinta, katanya, adalah sepotong senja yang temaram. Langit gulita. Kerlip bintang di kejauhan. Api unggun yang menari-nari. Goyang bayang-bayangan. Sebuah sofa kulit empuk. Sepasang lelaki dan perempuan berbaju putih. Kepala menyandar di dada bidang. Pelukan hangat. Sedikit kecupan di kening. Dan, senyum bahagia.

“Tapi itu hanya ada di film-film,” kata lelaki berkotak pandora. “Di dunia nyata, cinta itu darah dan sumpah serapah. Kita hanya mendapat remah-remah.”

Perempuan selaksa senyum menautkan alis matanya. Lelaki berkotak pandora ternyata belum berubah. Ia masih sama seperti yang dulu. Lidahnya sarkastik. Tapi, dia mungkin benar.

Perempuan selaksa senyum itu masih ingat benar ketika lelaki berkotak pandora mendadak pergi pada sebuah pagi yang basah oleh gerimis. Lelaki itu hanya meninggalkan satu pesan pendek. Tanpa kalimat perpisahan.

“Aku hendak mengejar matahari di timur,” begitu isi pesan itu.

Perempuan selaksa senyum pun semak hati. Tapi ia memang sudah menduga. Suatu saat kelak, lelaki berkotak pandora itu pasti pergi begitu saja. Dengan atau tanpa alasan. Ia merasa dirinya seperti Agnes Monica dalam tembang yang nglangut, Teruskanlah:

Pernahkah kau bicara
Tapi tak didengar
Tak dianggap
Sama sekali

Pernahkan kau tak salah
Tapi disalahkan
Tak diberi
Kesempatan

Ia tahu lelaki itu berhati gua. Lorong gelap nyaris tak berujung. Percuma saja mengharap elang betah di sarang. Bahkan ketika rumah mereka masih disesaki tawa dan lendotan mesra, sering kali perempuan selaksa senyum merasa semua itu cuma ilusi sesaat. Ia tak benar-benar yakin lelaki berkotak pandora betah singgah. Sejak itu, ia menyiapkan hatinya untuk kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

Toh ketika lelaki berkotak pandora itu benar-benar menghilang, hati perempuan selaksa senyum itu remuk dan berantakan. Ia merasa masa depannya yang dianyam oleh kelindan harapan dan cita-cita ikut terbang.

Sore itu, ketika senja merayap di tepi bukit, perempuan selaksa senyum duduk sendiri di atas bangku mahoni. Dulu, di tempat inilah, mereka biasa melukis pelangi setelah hujan turun dan kilau matahari membakar langit. Tapi sekarang tak ada lagi kepala menyandar di dada bidang. Pelukan hangat. Sedikit kecupan di kening. Dan, senyum bahagia.

Sepi menikam sunyi. Gelap mengayau pekat. Burung-burung pulang ke sarang. Perempuan selaksa senyum hanya bisa berharap lelakinya menemukan sarang matahari. Memetiknya. Lalu membawanya pulang ke pangkuan. Entah sampai kapan ….

>> Selamat hari Jumat, Ki Sanak. Apakah nanti malam sampean mau melihat bulan bersama saya?

Tagged: , , ,

§ 67 Responses to Temaram Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Temaram Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: