Buku Pecas Ndahe

September 7, 2009 § 53 Komentar

Terlalu banyak buku yang perlu dibaca. Terlalu sedikit kesempatan membaca.

Dua bungkusan mampir di meja saya pagi tadi. Dua-duanya memakai kertas cokelat sebagai pembungkus. Dua-duanya bukan sesuatu yang biasa di awal pekan. Tapi begitu saya baca pengirimnya, saya langsung bisa menebak isinya: buku!

dua buku

Voila! Benar saja. Dua bungkusan itu memang berisi buku. Buku pertama adalah Telling True Stories kiriman seorang sahabat lama. Kami pernah satu kantor pada tahun-tahun awal saya mencari nafkah di Jakarta. Buku itu adalah janji yang ditunaikannya. Pekan lalu, menjelang kepulangannya dari Bali ke Los Angeles, dia memang berjanji akan mengirim buku yang katanya, “Kamu pasti suka.”

Buku kedua adalah sebuah kumpulan cerita berjudul Kekasih Marionette, karangan Dewi Ria Utari. Kami pernah satu pabrik selama beberapa tahun, sebelum dia kemudian meneruskan peruntungan ke tempat lain.

Dua buku. Dua perempuan. Dua mantan teman satu kantor. Aha … saya tahu kenapa hari ini saya merasa begitu tersanjung.

Belum banyak yang bisa saya ceritakan tentang Telling True Stories. Saya baru sempat membaca sekilas buku panduan untuk penulis nonfiksi keluaran The Nieman Foundation at Harvard University ini. Tapi tampaknya buku ini layak dibaca oleh mereka yang suka menulis, termasuk narablog.

Para penulis yang menyumbangkan karya mereka dalam buku ini mengulas banyak hal tentang penulisan. Dilihat dari judulnya, tampaknya keren semua. Ada Tom Wolfe yang menelaah perihal emosi utama sebuah cerita. Nora Ephron tentang penulisan naratif dan skenario. Malcom Gladwell tentang batasan-batasan dalam penulisan profil. Dan seterusnya….

Kumpulan cerita pendek Kekasih Marionette malah belum sempat saya buka sampul plastiknya. Saya baru membaca bagian belakang buku yang memetik satu bagian dari cerpen itu.

Aku terbangun di tepi pantai. Matahari tampak ungu. Seperti saat pertama aku bertemu Kekasih. Tak hanya matahari yang terlihat sama. Semuanya tampak seperti kembali ke saat itu. Saat di mana aku tersenyum menggenggam tangannya. Aku mencoba berdiri. Namun tubuhku seperti melekat di pasir. Kurasakan sebuah benda berada di telapak tanganku. Ada secarik kertas di sana. Aku mendapati tulisan Kekasih tergores dengan tinta biru.

Dahsyat kan, kata-katanya? Sayang sekali saya belum memiliki kesempatan untuk membaca tuntas, baik Kekasih Marionette maupun Telling True Stories itu. Pekerjaan sehari-hari begitu menyita waktu. Nyaris tak ada jeda untuk menyantap nutrisi rohani. Saya bahkan masih terbayang-bayang tumpukan buku baru yang juga belum sempat saya sentuh di rumah. Sampul plastiknya pun bahkan belum robek.

Sampean mungkin juga pernah mengalami situasi seperti ini. Punya banyak buku bagus, tapi kesempatan membacanya tak datang-datang juga.

Malam-malam menjelang tidur bukan saat yang baik bagi mata saya untuk membaca. Sudah terlalu lelah. Otak pun jadi tulalit. Hari Ahad yang semula disediakan buat mengudap bacaan pun sering lepas begitu saja. Women rule on Sunday!

Pernah kesempatan datang ketika saya duduk di ruang tunggu dokter atau mengantre di bank. Apa daya, telepon dan SMS rekan di pabrik menghalangi tangan dari buku. Walhasil, buku-buku itu pun tak sempat terbaca lagi. Dan akhirnya saya tenggelam dalam sebuah paradoks: Sering beli buku tanpa pernah tahu kapan menikmatinya. Duh!

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean sudah membaca sebuah buku?

Tagged: , , , , , ,

§ 53 Responses to Buku Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Buku Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: