Lunch Pecas Ndahe
Maret 11, 2014 § 25 Komentar
Makan siang bersamamu tak pernah sama, Kei. Kemarin kita di Cangkir, mengigit-gigit daging kambing lembut itu seraya melihat hujan yang jatuh berderai-derai membasahi kawasan Panglima Polim.
Minggu lalu kita di Warung Made karena kamu ingin mencoba nasi ayam betutunya yang bisa menari di lidah. Sebelumnya lagi kamu mengajakku ke Black House.
Entah untuk yang keberapa kalinya siang ini kamu merajuk ingin melewatkan jemu di tempat kita pertama bertemu dulu. “Aku lagi pengen yang anget, mas,” begitu alasanmu. Mendung memang menggantung di atas Jakarta.
Aku ingat, waktu itu kamu memesan secangkir hot chamomile tea. Buat aku, seperti biasa, secangkir kopi hitam gulanya sedikit.
Makan siang bersamamu tak pernah sama, Kei. Kamu selalu membuatnya berbeda. Kadang matamu yang menari-nari kegirangan. Kali lain tanganmu yang bergerak-gerak bagaikan petinju menangkis serangan lawan. Dan bibirmu yang kau olesi lipstik warna pastel tak pernah berhenti bicara.
Aku tak pernah kuasa menolak ajakanmu melewatkan siang di pojok-pojok kafe yang tak pernah sama. Dari dulu. Selalu begitu.
Mungkin karena aku takjub oleh cerita kehidupanmu. Barangkali aku tersihir oleh aroma tubuhmu yang wangi melati. Bisa jadi juga aku memang terpesona oleh keseluruhanmu.
Pesonamu membuat waktu terbang secepat roket setiap kita bertemu. Tiga jam jadi terasa tiga menit. Mungkin benar kata orang, momen yang menyenangkan membuat waktu terasa bergegas. Lekas.
Makan siang bersamamu tak pernah sama, Kei. Kamu selalu datang dengan kejutan. Terakhir kamu bawa tongkat selfie dan meminta kita foto narsis berdua. Padahal selama ini aku tak pernah mau memotret diriku sendiri.
Tapi gara-gara kamu bawa kamera barumu itu, aku jadi bisa memotretmu. Dan kamu memotretku. Tepat saat aku tertawa. Klik!
Aku bertanya, mengapa kamu memotretku?
“Karena kalau nanti kita tak bisa bertemu lagi, seperti inilah aku ingin mengingatmu: kamu yang tertawa.”
Aku tak tertawa ketika mendengar jawabanmu. Aku lihat matamu basah. Ada sebutir kristal bening di ujungnya.
Aku bertanya, ada apa?
Kamu hanya menggelengkan kepala sambil menyuapkan sepotong apple pie terakhir ke mulutmu. Tak kulihat lagi senyummu.
Makan siang bersamamu tak pernah sama, Kei. Tapi aku selalu menikmatinya. Meski aku sadar bahwa kamu pun mengerti: betapa kita sesungguhnya hanya menghitung hari, hingga saat-saat yang penghabisan. Dan sepertinya, kita hanya punya sisa sedikit waktu. Sangat sedikit.
Sampai siang ini, kita sama-sama tahu, kita hanya mampu meringkus perasaan kita masing-masing lalu menyimpannya di sudut laci hidup kita yang terdalam. Entah sampai kapan.
Makan siang bersamamu tak pernah sama, Kei. Dan aku akan selalu merindukan saat-saat itu …
>> Selamat hari Selasa, Ki Sanak. Di manakah tempat makan siang favorit sampean?
Ingatanku melayang kembali ke edisi “DIAJENG”……
Kantin supir di B2, Ndoro :’)
wah asik tuh ndoro….
makan siang tak lagi sama setelah baca tulisan ini. 😀
huhuhuuuu … hujan diluar jadi pindah ke dalam setelah membaca tulisan ini … 😦
duh ._.
wenae 😀
enakkk… buanget tuh… hehehe
ijin menyimak artikelnya ternyata menambah wawasan saya sukses selalu
Tulisannya asyik dibaca,
Mengingatkan buat mengisi hidup bersama si dia dengan cerita yg layak dikenang.
Inspiratif. 😀
Setelah membaca yg ini, sy jadi teringat sebaris kenangan silam bersamanya. Ah sudah lah, kenangan tinggalah kenangan.. 🙂
Enak yah kalau sudah punya pacar ^_^
Salam kenal……
wah jadi ingiri saya yang udah punya pacar asyik
Di pematang sawah, Ndor. 🙂
membaca dan menyimak artikelnya sungguh jadi menambah ilmu dan wawasan saya semoga lebih banyak yang baca artikel ini menjadi lebih banyak tau
wah enak juga ndoro
menarik dan tentunya sangat bermnfaat sekali infonya
menarik sekali ndoro
cerita yg menarik
menarik sekali artiklenya ndoro
Mmmmmooowh 😀
ada romantisnya, ada sedihnya. Suka banget
menarik sekali artikelnya
Ah Ndoro. Romantis tapi maskulin. Ndak menye menye.