Gelombang Pecas Ndahe

Juni 22, 2007 § 53 Komentar

Perempuan berhubungan seks karena cinta dan komitmen — atau imbalan. Laki-laki melakukannya bila ada kesempatan.

Tapi, kami sudah tak sempat memikirkan lagi perbedaan itu ketika sama-sama berguling di atas ranjang empuk berlapis sprei lembut. Napasnya memburu. Debar jantungnya bertalu-talu.

Saya bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang menindih, tangannya yang menyusur ke bawah, dan gesekan halus pinggulnya.

Dalam sekejap, kami menyatu dalam satu gerak, saling mengisi relung-relung kosong. Kami menari bersama. Melangkah berbarengan. Inci demi inci, detail demi detail.

Saya seperti sampan kecil di tengah samudera. Dia gelombang yang menghantam dari kiri dan kanan. Dari atas dan bawah. Kadang naik, kadang menukik. Saya terombang-ambing dalam sensasi yang mendebarkan. Lebur dalam deburnya. « Read the rest of this entry »

Hujan Pecas Ndahe

Juni 21, 2007 § 30 Komentar

Matahari kian tinggi. Sinarnya menyilaukan mata. Sudah lebih dari sepekan Jakarta tak disiram hujan. Kemarau mungkin memenuhi janjinya mulai bulan ini.

Saya berkemas dalam gegas. Setumpuk pekerjaan pasti sudah menunggu di pabrik.

Sebelum berangkat, saya menaruh satu set mobil-mobilan Hot Wheel dan satu boneka Barbie yang saya beli kemarin di atas meja belajar anak-anak.

Tadi malam saya lupa memberi tahu mereka. Lagi pula percuma membangunkan mereka hanya untuk sesuatu yang bisa ditunda itu. Mereka pasti kaget jika sepulang sekolah nanti melihat kado itu di meja belajar masing-masing karena tak ada yang ulang tahun hari ini.

Saya tersenyum memikirkan kejutan yang bakal mereka temukan itu. Sudah sejak beberapa hari yang lalu saya memang berniat membelikan mereka sesuatu. Kenaikan kelas memang masih sebulan lagi, tapi tak ada salahnya juga memberi hadiah sekarang. Mereka toh pasti naik kelas. Seandainya nanti setelah menerima rapor mereka minta kado lagi, yah tinggal nyari lagi. Apa susahnya? « Read the rest of this entry »

Waktu Pecas Ndahe

Juni 20, 2007 § 18 Komentar

Kepada waktu yang mengapung antara ada dan tiada. Antara pagi, siang, dan malam. Adakah luka yang terhapus?

“Apa kabar, Mas?” tanya Mami di seberang sana.

Saya tergagap. “Eh, eng … baik … baik, Mam. Mami sendiri gimana kabarnya? Saya kira tadi Diajeng yang menelepon.”

“Ah, dia sudah pergi dari tadi, Mas. Ndak tahu dijemput siapa tadi. Tapi, sebelum pergi, dia sempat cerita. Katanya Mas yang mengantarnya semalam ya? Kok Mami ndak dikasih tahu?

“Iya, Mam. Maaf. Tadi malam saya buru-buru. Lagi pula sudah terlalu malam. Mami pasti sudah tidur.”

“Iya sih, Mami kecapekan sehabis pengajian di rumah tetangga. Tapi, lain kali mampirlah ke rumah, Mas. Sudah lama Mami ndak lihat kamu. Nanti Mami masakin deh makanan kesukaanmu. Sampean pengen apa, Mas? Lasagna? Gudeg?” « Read the rest of this entry »

Daun Pecas Ndahe

Juni 19, 2007 § 23 Komentar

Daun-daun kenangan berdesah sedih dalam gelap — Longfellow.

Saya bangun ketika rumah sudah sepi. Anak-anak pasti sudah berangkat ke sekolah diantar ibunya sejam yang lalu.

Angin merayap pelan melalui jendela mengelus badan. Saya menengok keluar dan melihat daun-daun rontok satu-satu di halaman. Kemarau tampaknya sebentar lagi datang.

Setengah mengantuk, agak keliyengan, saya ke dapur, mencari-cari toples kopi dan gula. Ah, rasanya tak perlu. Saya lihat ada secangkir kopi hangat masih mengepul di meja. Istri saya tadi pasti sempat membuatkan sebelum pergi. Ritual setiap pagi.

Saya memang suka kopi. Rasanya ada yang kurang jika bangun pagi dan tak menyesap cairan hitam berkafein itu. Biasanya saya menikmatinya menjelang mandi. Baru setelah itu berangkat ke pabrik. « Read the rest of this entry »

Home Pecas Ndahe

Juni 18, 2007 § 23 Komentar

There’s no place like home. Itu sebabnya ada ungkapan home sweet home. Tapi, saya baru benar-benar merasakannya malam itu, setelah mengantarkannya pulang ke rumah ibunya.

Yeah, I am finally homeafter all of those jumpin’ around feelin’.

Saya mendapati rumah dalam keadaan gelap. Anak-anak dan ibunya pasti sudah dari tadi terlelap. Saya lirik arloji. Hm, sudah hampir pagi. Pelan-pelan saya membuka garasi dan pintu rumah biar ndak membuat mereka terbangun.

Benar saja. Di dalam kamar, saya lihat anak-anak sudah tidur dengan gaya masing-masing. Si sulung, seperti biasa, bergaya bebas. Ranjangnya berantakan. Bantalnya di mana, gulingnya di mana, dia sendiri telentang ndak keruan.

Si bungsu, juga seperti biasanya, tidur dalam posisi yang tak pernah berubah, nyaris tak bergerak. Saya menduga ini pasti turunan ibunya. Hanya perutnya yang naik turun saja yang menunjukkan bahwa dia masih bernapas. Mungkin memang begitu beda anak perempuan dan anak laki-laki kalau tidur. « Read the rest of this entry »

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with affair at Ndoro Kakung.