Waktu Pecas Ndahe

Juni 20, 2007 § 18 Komentar

Kepada waktu yang mengapung antara ada dan tiada. Antara pagi, siang, dan malam. Adakah luka yang terhapus?

“Apa kabar, Mas?” tanya Mami di seberang sana.

Saya tergagap. “Eh, eng … baik … baik, Mam. Mami sendiri gimana kabarnya? Saya kira tadi Diajeng yang menelepon.”

“Ah, dia sudah pergi dari tadi, Mas. Ndak tahu dijemput siapa tadi. Tapi, sebelum pergi, dia sempat cerita. Katanya Mas yang mengantarnya semalam ya? Kok Mami ndak dikasih tahu?

“Iya, Mam. Maaf. Tadi malam saya buru-buru. Lagi pula sudah terlalu malam. Mami pasti sudah tidur.”

“Iya sih, Mami kecapekan sehabis pengajian di rumah tetangga. Tapi, lain kali mampirlah ke rumah, Mas. Sudah lama Mami ndak lihat kamu. Nanti Mami masakin deh makanan kesukaanmu. Sampean pengen apa, Mas? Lasagna? Gudeg?”

“Ah, Mami. Gampang, Mam. Lain kali saya pasti mampir. Belakangan ini saya lagi banyak kerjaan. Ndak sempat ke mana-mana. Siang jadi malam, malam jadi siang. Ternyata susah cari duit di Jakarta ya, Mam.”

“Mami tahu kok, Mas. Mami juga lihat di TV, baca koran. Eh, katanya ada apa itu, marinir menembak penduduk ya di Pasuruan. Banyak korban yang meninggal ya katanya? Mas ke sana juga?”

“Ndak, Mam. Ada kawan lain yang berangkat. Saya di Jakarta saja. Eh, tapi Mam, ngomong-omong gimana Mami bisa pakai telepon Diajeng? Katanya dia pergi?” tanya saya mencoba mengalihkan perhatian Mami.

“Halah, Mas. Kayak kamu ndak tahu Diajengmu saja. Pelupanya kan dari dulu ndak ilang-ilang. Dia bawa telepon yang satunya. Yang ini ada di tempat tidurnya. Waktu Mami beresin kamarnya, Mami lihat telepon ini di bawah bantal. Gara-gara dia cerita diantar Mas pulang, eh iseng-iseng Mami cari nomor teleponmu. Pasti dia menyimpan. Eh, bener. Mami kehilangan nomormu. Sudah ganti ya, Mas?”

Saya merasa berdebar ketika mami menyebut “Diajengmu”. Tapi, buru-buru saya menepis debaran itu.

“Iya, Mam. Telepon saya yang dulu hilang. Saya terus ganti nomor sekalian.”

“Oh, pantes. Setiap kali Mami telepon bunyinya tulalit. Ya sudah, Mas. Mami sekarang sudah tahu nomor teleponmu. Lain kali kalau Mami butuh kamu, Mami pasti telepon. Tadi Mami cuma mau nanya kamu soal Diajeng … “

Mami tak menyelesaikan kalimatnya. Saya penasaran. “Diajeng kenapa, Mam?”

Saya mendengar Mami menghela napas. Hening sesaat.

“Ah, sudahlah Mas. Gadis zaman sekarang mungkin memang beda. Lain dari zaman Mami muda dulu.”

“Maksud Mami?”

“Yah … begitulah, Mas. Wis rasah dipikir, Mas. Mungkin Mami yang mesti tahu diri.”

Saya merasa Mami menyembunyikan sesuatu, tapi enggan menceritakannya. Saya ndak mau bertanya lebih lanjut. Bukan urusan saya.

Tapi, tunggu. Eh, kok sepertinya Mami terisak? Menahan tangis? Saya rapatkan telepon ke telinga.

“Mam … Mami masih di situ?”

Hening lagi.

“Mam, Mami ndak apa-apa kan?”

“Mas tahu siapa saja teman-teman Diajeng?” tanya Mami tiba-tiba.

“Eeeeng … Ndak tahu, Mam.”

Ada apa Mami bertanya tentang teman-teman Diajeng, saya membatin?

“Sudah lama saya ndak ketemu dia dan baru tadi malam kami jalan bareng lagi, Mam. Teman-temannya yang dulu saya kenal pasti sudah berganti dan saya tak mengenalnya lagi. Memangnya kenapa, Mam?”

“Belakangan ini Mami merasa ada yang aneh. Diajeng jarang pulang ke rumah Mami. Dulu, meski dia tinggal di apartemen, setiap Sabtu pasti ke sini. Sekarang ndak pernah lagi. Baru setelah Mami telepon, Diajeng mau pulang. Itu pun setelah Mami pakai nangis-nangis. Maklumlah Mas, Mami kan sekarang sendirian. Mami suka kesepian kalau Diajeng jarang ke sini.”

“Lah itu kan biasa, Mam. Diajeng kan memang suka begitu. Dari dulu senengnya menclok sana, menclok sini. Tergantung hatinya. Hari ini di Jakarta, besok tahu-tahu sudah di Bali. Besoknya lagi sudah di Singapura. Terus suka lupa kalau masih ada Mami. Tapi, Mami ndak usah khawatir deh. Paling cuma sebentar dia pergi.”

“Yang ini lain, Mas. Mami merasa ndak enak. Rasanya dia kumat lagi, Mas. Seperti dulu.”

Wadoh, ndak beres ini. Tapi apa?.

“Ya sudah gini aja Mam, nanti saya coba telepon dia. Siapa tahu dia ndak kenapa-kenapa. Mungkin lagi ada janji dengan teman-temannya. Mami tenang saja, ndak usah mikir apa-apa. Gimana, Mam?”

“Iyalah Mas, moga-moga ndak ada apa-apa. Tapi, bener ya Mas, tolongin Mami. Cuma Mas yang bisa nolong.”

“Iya Mam, iya. Sampai nanti ya, Mam.”

“Suwun, Mas.”

Klik. Telepon ditutup.

Ugh, lega rasanya. Tapi, kepala saya mendadak pening. Terlalu banyak beban yang mesti saya tanggung. Terlalu banyak yang mesti saya simpan di depan Mami. Dan, susah benar rasanya berterus terang. Ah, sampai kapan saya mesti menyepak rahasia itu jauh-jauh ke sudut ingatan?

Setengah cangkir kopi sisa tadi langsung saya tenggak habis untuk mengusir keruwetan pikiran. Saya nyalakan TV. Berita pagi. Di layar muncul seorang Komandan Jenderal Marinir yang tengah diwawancara seorang reporter TV. Ah, pasti tentang tragedi di ladang tebu Alas Tlogo itu.

Saya ndak peduli. Saya punya tragedi sendiri. Sebuah tragedi yang kemudian mengubah pandangan saya tentang perempuan, laki-laki, dan perkawinan – dulu, tujuh tahun yang lalu. Ah, seandainya saja waktu bisa diputar ulang …

Tagged: , , ,

§ 18 Responses to Waktu Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Waktu Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: