Hujan Pecas Ndahe

Juni 21, 2007 § 30 Komentar

Matahari kian tinggi. Sinarnya menyilaukan mata. Sudah lebih dari sepekan Jakarta tak disiram hujan. Kemarau mungkin memenuhi janjinya mulai bulan ini.

Saya berkemas dalam gegas. Setumpuk pekerjaan pasti sudah menunggu di pabrik.

Sebelum berangkat, saya menaruh satu set mobil-mobilan Hot Wheel dan satu boneka Barbie yang saya beli kemarin di atas meja belajar anak-anak.

Tadi malam saya lupa memberi tahu mereka. Lagi pula percuma membangunkan mereka hanya untuk sesuatu yang bisa ditunda itu. Mereka pasti kaget jika sepulang sekolah nanti melihat kado itu di meja belajar masing-masing karena tak ada yang ulang tahun hari ini.

Saya tersenyum memikirkan kejutan yang bakal mereka temukan itu. Sudah sejak beberapa hari yang lalu saya memang berniat membelikan mereka sesuatu. Kenaikan kelas memang masih sebulan lagi, tapi tak ada salahnya juga memberi hadiah sekarang. Mereka toh pasti naik kelas. Seandainya nanti setelah menerima rapor mereka minta kado lagi, yah tinggal nyari lagi. Apa susahnya?

Pikiran saya mulai tenang begitu mengenangkan anak-anak dan melupakan telepon Mami tadi. Tak terasa mereka sudah beranjak besar. Dan, semakin pintar. Hampir setiap hari saya mendapatkan kejutan baru dari kepintaran mereka.

Seminggu yang lalu, si bungsu akhirnya bisa naik sepeda sendiri setelah berbulan-bulan jatuh bangun naik sepeda roda empatnya itu. Kakinya sampai lecet-lecet. Dia berteriak-teriak kegirangan sambil memanggil saya karena mau memamerkan kemampuannya mengayuh sepeda tanpa bantuan dua roda kecil lagi.

Si sulung juga makin pandai memetik gitar. Tiga hari yang lalu ia menunjukkan kemahirannya memainkan sebuah lagu klasik Beethoven, Fur Elise. Saya tahu jari-jarinya kapalan hanya karena dia berusaha keras memegang senar. Tapi, dia tersenyum girang begitu saya memberinya tepuk tangan dan tawa lebar.

Saya terpana menyaksikan semua itu. Saya seperti melihat ada keajaiban turun dari langit. Ibunya, seperti biasa, cuma tersenyum melihat ketakjuban saya. “Makanya, punya anak sering-sering diperhatiin, dong,” komentarnya singkat.

Saya nyengir. Merasa bersalah.

Rasa bersalah itulah yang membuat saya harus menebusnya dalam bentuk hadiah-hadiah kecil. Saya berharap hadiah itu bisa menjadi semacam pengganti perhatian saya yang sangat, bahkan teramat sangat, kurang. Padahal saya tahu, anak-anak pasti semakin membutuhkan perhatian lebih besar dari saya, ayahnya.

Diajeng dulu juga sering bermaksud memberi saya hadiah setiap kali merasa bersalah atau melakukan kesalahan yang membuat saya marah. Korek api Zippo, dompet Lacoste, ikat pinggang Bvlgari, sepatu Adidas, T-shirt Versace, dan entah apa lagi. Tak semuanya saya ingat.

Saya tak pernah mau menerimanya. Setiap kali ia memberikan, setiap kali itu pulalah saya kembalikan. Barang-barang itu akhirnya ditumpuk begitu saja di almari kecil di pojok ruang tengah apartemennya. Semuanya masih dibungkus rapi.

“Siapa tahu kamu berubah pikiran, Mas,” katanya.

Saya diam saja. Bukan itu yang saya butuhkan.

Satu-satunya hadiah yang pernah saya terima darinya justru bukan sebuah benda. Dia memberikannya pada sebuah malam yang lembab, ketika Jakarta diguyur hujan lebat, enam bulan setelah kami pertama kali berkenalan, kira-kira tujuh tahun yang lalu.

Waktu itu, kami baru saja pulang dari nonton sebuah konser musik kamar di Gedung Kesenian. Tepatnya saya bekerja, dia menemani. Semula saya agak segan membawanya, tapi dia ngotot ikut.

“Aku pengen melihat Mas bekerja,” begitu alasannya. Padahal saya tahu dia bakal tersiksa mendengarkan sesuatu yang tak dia sukai selama dua jam pertunjukan itu.

Anehnya, di dalam mobil hitam butut yang membawa kami pulang, dia malah senyum-senyum sendiri.

“Kok mesam-mesem. Ada apa sih, Jeng?’ tanya saya penasaran.

“Aku seneng Mas, bisa ikut kamu malam ini,” katanya memecah kebisuan.

“Lalu?”

“Aku jadi tahu bagaimana pekerjaanmu, Mas.”

“Ada yang aneh?”

“Nggak. Aku kagum aja.”

“Kagum? Kok iso? Rasanya biasa saja.”

“Buat kamu mungkin biasa Mas, tapi ini sesuatu yang baru buatku.”

“Kalau begitu, kamu mesti sering-sering ikut saya kerja.”

“Pastinya, Mas. Kalau lihat kamu kerja, aku jadi inget Papi. Dia mirip kamu. Pekerja keras. Sayang kamu ndak sempat kenal ya, Mas.”

“Kamu dekat sama Papi ya?’

“Banget. Dalam hidupku cuma ada Papi.”

“Lah, Mami kan masih ada.”

“Iya sih, tapi kan aku nggak begitu deket.”

“Pantes kamu suka saya, karena kayak Papi ya?”

“Huuu .. ge-er,” katanya sambil meninju lengan kiri saya. Eh, kita cari makan dulu yuk, Mas. Aku laper.”

“Boleh. Di mana?”

“Terserah Mas, saja. Makanannya sih ndak penting, Mas. Yang penting aku bisa makan sama kamu.”

“Haiyah. Ngopo sih, kowe, Jeng? Lah wong cuma mau makan saja kok pake ngrayu. Wagu, ah.”

Dia tergelak.

Kami akhirnya makan di Menteng, persisnya di depan Keris Gallery. Saya tahu, di sana ada banyak tempat makan dan buka sampai malam. Ada nasi goreng gila, sate Padang, dim sum, bakso, juga aneka minuman dingin. Jumat malam begini pasti lagi ramai-ramainya.

Saya memesan sate Padang. Diajeng minta sepiring dim sum. Kami makan dengan lahap malam itu, diselingi dengan obrolan ringan. Satu dua pengamen berhenti menyela obrolan, minta izin menyanyikan lagu-lagu andalan mereka.

“Chrisye dong, Mas. Selamat jalan kekasih. Bisa nggak?” tanya Diajeng ke salah satu pengamen.

“Haiyah, lagumu itu lo, Jeng,” saya mencibir.

“Ah, biarin,” tukasnya sambil mencubit pinggang saya.

Sayang, kami tak bisa lama-lama menikmati makan malam di Menteng. Pengamen itu juga tak sempat menyelesaikan lagu yang dia minta. Gerimis mendadak jatuh satu-satu. Kami buru-buru membayar makanan dan pergi.

Gerimis lama-lama kian deras, menjadi hujan. Ia mengajak pulang langsung ke apartemennya. Di dalam mobil, ia bersenandung pelan, meneruskan lagu yang tak sempat diselesaikan pengamen tadi. Tangan kanannya menggengam lembut tangan kiri saya.

Resah rintik hujan yang tak henti menemani
Sunyinya malam ini sejak dirimu jauh dari pelukan …

Saya tersenyum. Suaranya enak juga. Dia rebahkan kepalanya ke bahu kiri saya. Wangi rambutnya membuat saya nyaman. Dia terus bernyanyi bahkan ketika kami masuk ke dalam apartemennya dengan lengan memeluk pinggang saya.

Jangan kau risaukan air mata yang jatuh membasahiku
Harusnya kau mengerti sungguh besar artimu bagi diriku
Selamat jalan kekasih …

Pelukan di pinggang. Desah di telinga. Aroma tubuhnya. Mendadak saya terhanyut dalam pesonanya. Dan, semuanya terjadi begitu saja. Tanpa rencana.

Malam itu, di tengah hujan yang menggila, untuk pertama kalinya saya tidur dengan perempuan yang bukan istri saya …

Tagged: , , ,

§ 30 Responses to Hujan Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Hujan Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: