Pemuda Pecas Ndahe

Oktober 28, 2010 § 66 Komentar

Apa lagi yang bisa dikatakan tentang PEMUDA? Mereka yang mengucapkan sumpah pada 28 Oktober 1928? Mereka yang mampu mengguncang dunia?

Saya menemukan sebuah cerita lama tentang seorang pemuda dari arsip tulisan Goenawan Mohammad. Saya bagikan di sini untuk sampean sebagai pengingat tentang sebuah negeri yang jauh. Tentang pemuda yang tak bosan mengkritik ….

Kisah ini dimulai pada awal musim semi 1919. Seorang tua ketemu Lenin di Kremlin. Waktu itu hampir dua tahun sudah Lenin berkuasa. Revolusi komunis yang dipimpinnya berhasil menggulingkan Tsar.

Raja terakhir Rusia dan keluarganya telah dibunuh. Kediktaturan proletariat telah ditegakkan. Pemerintahan baru pun sibuk menyiapkan diri ke masa depan — seraya membasmi musuh-musuhnya.

Dan Rusia berwarna merah. « Read the rest of this entry »

Ahli Pecas Ndahe

Oktober 8, 2010 § 106 Komentar

Dicari: Gubernur yang mampu membenahi Jakarta!

Setiap kali hujan jatuh membasuh Jakarta, saya seperti ikut merasakan betapa kedinginannya patung-patung di sudut-sudut kota. — kecuali patung Pak Dirman yang berjas lengkap di ujung Jalan Jenderal Sudirman itu.

Dingin makin terasa kencang menggigit bila hujan menderas. Dan saya terbayang pada genangan-genangan di jalanan. Lalu kemacetan lalu lintas yang panjang. Orang-orang yang frustrasi dan mengumpat sepanjang jalan.

Jakarta pada 2010 adalah kota yang amburadul meskipun dipimpin oleh ahli tata kota lulusan Jerman: Fauzi Bowo. Ia dilantik pada 7 Oktober 2007 sebagai gubernur ibu kota negara.

Pada mulanya dia berjanji memperbaiki keadaan. Kemudian sejumlah rencana disusun rapi, dikerjakan dalam ruang yang senyap. Bahkan nyaris tak ada yang sadar apa yang sebetulnya sudah dia kerjakan untuk memoles wajah Jakarta. « Read the rest of this entry »

Perempatan Pecas Ndahe

Juli 30, 2010 § 134 Komentar

Sekali-sekali, perhatikanlah pemandangan di sebuah perempatan di Jakarta pada setiap tiap hari kerja. Ketika jarum jam mendekati titik pukul jam tujuh pagi, di perempatan mana pun, dari keempat arah, puluhan — atau ratusan — kendaraan serentak berjejal berebut di depan.

Sebuah kemacetan dahsyat pun segera tercipta. Klakson memekik-mekik. Brisik! Orang mengumpat-umpat dan berteriak-teriak. Di dalam bus-bus penumpang merengut, cemas, berkeringat. Di sedan-sedan yang bagus dan mengkilap, orang juga merengut sambil membaca koran pagi. Tapi mereka tak berkeringat. Maklum, mobil mereka dilengkapi AC dan kacanya dibalut selapis seluloid hitam untuk menahan terik matahari.

Lampu lalu lintas perempatan itu normal, ada setrumnya. Tapi rupanya orang-orang tak sabar. Juga para sepeda motor yang, seperti kuda kecil yang lapar, melontarkan diri ke depan. Lampu menyala merah di depan mereka. Tapi siapa peduli? Bukankah orang dari sebelah sana para pengguna jalan lain juga melanggarnya? « Read the rest of this entry »

Klakson Pecas Ndahe

Maret 9, 2010 § 50 Komentar

Pemain sinetron disangka menganiaya seorang pria hanya gara-gara klakson. Kemacetan telah membuat sumbu frustrasi jadi pendek?

Insiden itu terjadi pada Minggu, 7 Maret malam lalu. Menurut situs Okezone, pemain sinetron Rio Reifan terlibat cekcok dengan Pribadi Gunawan di kawasan Jatinegara. Cekcok dipicu oleh klakson yang dibunyikan Pribadi Gunawan terhadap mobil Rio yang berada di depannya.

Karena diklakson seperti itu, Rio pun naik pitam dan langsung menghampiri Pribadi Gunawan yang saat itu berada di dalam mobilnya. Bersama sang kakak, Rio mengeroyok Pribadi yang berada di balik setir mobilnya. Akibatnya, Pribadi pun babak belur.

Kenapa orang mudah naik pitam? « Read the rest of this entry »

Pengemis Pecas Ndahe

Agustus 26, 2009 § 61 Komentar

Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa mengemis itu haram. Pemerintah Jakarta gencar merazia pengemis dan gelandangan di seluruh penjuru kota. Kenapa kemiskinan tak mati-mati?

pengemis cilik

“Malam seperti itu, hujan sering turun.”

Fred de Silva, editor dari Ceylon Daily News, memulai tulisannya.

Ia berjalan sejak tadi. Ada kabut tipis dalam gelap, tumbuh dari udara panas. Kulit terasa lekat. Tapi hujan telah menunjukkan janjinya, untuk datang. Kaki-kaki telah bergegas. Orang mencari tempat dan atap.

Di antara suara sandal itu ada sepasang kaki yang lain. Bukan lain karena telanjang dan tua, tapi karena ritmenya berbeda. Langkah itu mirip langkah seorang penari kavadi. Cekatan, bersemangat, meskipun yang empunya berambut putih meskipun seluruh tubuhnya jembel, meskipun ia seperti sendiri.

Mungkin itulah sebabnya lelaki pengemis tua itu menarik perhatian. “Itulah sebabnya aku sampai bisa melihatnya di dalam arus umat manusia yang bergerak,” tulis de Silva. Itulah sebabnya detail sang sosok menjadi jelas. Wajahnya adalah wajah tersiksa seorang penari kavadi — tersiksanya seorang kesurupan. « Read the rest of this entry »

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with jakarta at Ndoro Kakung.