Milan Pecas Ndahe
November 19, 2007 § 52 Komentar
Kota Milan baru bangun dari tidurnya ketika kami berjumpa di trotoar depan Hotel Principe di Savoia, di Piazza Della Repubblica 17, yang berdiri pada 1920 itu.
Langit jingga, seperti warna dinding hotel yang diterpa sinar matahari pagi yang meletek. Bayang-bayang pepohonan lindap. Embun merabas. Burung-burung melayap di antara dedaunan.
Jalanan yang diaspal lancap itu lengang. Hanya satu dua prahoto lewat. Lampu jalanan mulai padam satu per satu. Angin November mengremus kulit. Pedih. Saya lihat papan penunjuk temperatur di depan hotel menunjukkan angka 3 derajat Celsius. Pantes!
Diajeng merapikan mafela dan mengancingkan jaket kulit merahnya rapat-rapat. Parasnya yang lawa kemerahan tanda kedinginan. Tubuhnya bau lavender. Bibirnya dari tadi tak berhenti cengar-cengir … iseng. Saya tak tahan untuk mengacak-acak rambutnya.
Pagi itu Diajeng mau mengajak saya pelesir keliling Kota Milan. Ia hendak memamerkan kota yang membuatnya betah dan lupa pada seluruh kepedihan yang ditinggalkannya di Jakarta.
“Jadi kita mau ke mana dulu nih, Mas?” tanya Diajeng. “Ke Basilica di San Simpliciano yuk!”
“Terserah kamu deh, Jeng. Saya buta peta, ndak tahu mana-mana. Kali ini kamu guide-nya deh. Yang penting jangan jauh-jauh ya,” jawab saya yang masih terpana oleh lanskap Kota Milan pada esuk umun-umun begini.
“Ah, dasar pelasuh, ” kata Diajeng sambil tersenyum, lalu memacik tangan saya. Berdua kami berlawalata menyusuri trotoar. Langkahnya langkas. Saya terseok-seok mengikuti di sebelahnya. Nafas tua saya tersengal-sengal.
Semula saya merasa agak aneh. Mosok jalan-jalan pagi kok mengunjungi gereja? Apa ndak ada pemandangan lain untuk memulai hari? Lagi pula kami berdua bukan regular customer misa pagi di gereja mana pun. Kami muslim dan muslimah. Halah.
Bayangan saya sih, Diajeng akan membawa saya berwisata kuliner dengan mendatangi kafe-kafe pinggir jalan untuk mengudap sarapan pagi dan menyesap secangkir kopi panas.
Awalnya saya menduga Diajeng bakal mengajak saya mengunjungi stadion dua klub sepak bola raksasa itu: Inter dan Milan. Eh, siapa tahu saya bisa bertemu salah satu pemain dan minta tanda tangan, kan?
Rupanya Diajeng punya rencana lain. Ia bahkan telah menyiapkan kata-kata rayuan mautnya, “Ini bukan gereja biasa, Mas. Kamu pasti suka.”
Saya pun jadi tergoda mengikuti rayuannya. Benar saja. Ketika sebentar kemudian kami sampai di mulut Basilica di San Simpliciano di jantung Kota Milan, saya terpana. Arsitekturnya ternyata sangat elok.
Dibangun pada abad ke-4, Basilica di San Simpliciano termasuk salah satu gereja tertua di Milan. Meski St. Ambrose yang pertama kali membangun gereja itu, namun St. Simpliciano-lah yang menyelesaikannya.
Karena itulah, namanya diabadikan sebagai sebutan gereja tersebut. St. Simpliciano dimakamkan di dalam gereja itu, berdampingan dengan tiga martir lainnya, Sisinnio, Martino dan Alessandro.
Sejak abad ke-4, gereja Simpliciano telah direnovasi beberapa kali, terutama pada abad ke-7 dan 11. Saya teringat bangunan-bangunan kuno di Kota Lama, Semarang, ketika menatap bagian depan Basilica di San Simpliciano.
Interior dalamnya yang berhiaskan lukisan kaca mengingatkan saya pada bagian dalam Lawang Sewu di Semarang.
Tapi, yang paling menggetarkan hati adalah dinding-dinding kapel yang dilumuri aneka dekorasi dari berbagai era, dari zaman Renaisans hingga Barok, Rococo sampai Neoklasik. Juga taburan mural-mural di plafon kapel yang mengingatkan saya pada film yang syahdu itu, English Patient.
Di dalam gereja itu kami berpalun-palun seraya menikmati sihir keanggunan seni abad lalu. “Tuh, kamu nggak nyesel ke sini kan, Mas?” tanya Diajeng yang dari tadi senyam-senyum melihat ketakjuban saya.
Saya cuma menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak terus-menerus. Saya tak punya madah lain selain satu kata untuk menggambarkan gereja tua ini: dahsyat!
Tapi, yang lebih dahsyat pagi itu tetap Diajeng. Dengan keanggunan seorang putri zaman Renaisans, ia berjalan sepanjang koridor mengarah ke jendela kaca. Sinar matahari yang menembus kaca membuat tubuh Diajeng menjelma jadi lekukan siluet indah. Duh, Gusti …
Perasaan saya puspas. Adakah Diajeng benar-benar sudah menanggalkan semua keperihan dan kepedihannya? Adakah hatinya benar-benar telah tertambat di Milan dan melupakan saya?
Wajah lejar para santo di dinding-dinding Basilica di San Simpliciano itu tak memberikan wangsit apa pun. Mereka hanya seperti mengisyaratkan bahwa dulu tetap abadi di masa lalu. Dan masa depan tak pernah bisa kita tebak kejutannya …
>> Mohon maaf atas pemilihan diksi yang tak biasa dan pemakaian beberapa kata arkaik. Silakan buka kamus untuk mengetahui artinya. Dan, selamat belajar bahasa Indonesia.
Beri peringkat:
Terkait
Tagged: arkais, cerpen, cinta, diajeng, metafora, milan, prosa
pertamax… bacanya keduax
ditunggu foto-fotonya. milan khan kaya dengan arsitektur lawas. nanti fotonya dipajang juga di sini ya…
wahh diajeng lagi..sepp, tak tunggu tikungan mengejutkan selanjutnya..xixi
jangan lupa oleh-olehnya… halah, hattrick lagi…
lha wingi tak parani neng stan koran tempo ga ono, tibaknya ke milan to?
foto2nya ada mas? saya fotografer, mengelola blog fotopengantin.blogspot.com
kota milan adalah kota yang fotogenik, diambil dari sudut manapun selalu menarik.. salam…
ga ketemu rombongan tifosi kelas ultras kan?
hehehe…bener ndoro, saya belajar banyak kosa kata baru. ngaku berbahasa satu, bahasa indo, tapi ga pernah pake dan ga tau artiya :p
Urutan dari yg paling menarik di posting ini:
1. Kosa katanya
2. Diajeng
3. Arsitektur Gereja
4. Milan
5. Ndorokakung tentunya
Ditunggu banget lanjutan ceritanya….
habis itu naek vespa alias piaggio berdua sama diajeng ke roma yo ndoro 😛
jangan lupa numpak fiat lho, kang.. 😀
pertama baca, mo tanya beberapa arti kata.
sampe bawah, harah …. malah dikon searching dewe.
Btw, ketoknya kok hanya “Diajeng” seorang yg masalahnya keri ning JKT. Terus jenengan pripun?
.::he509x™::.
Setuju Ndoro, dulu tetap abadi di masa lalu. Kadang tampak jelas di mata tapi tak pernah tersentuh. Sedang masa depan, tak terduga apa yang ada di balik tikungan.
Nikmati saja hari-hari bersama Diajeng, sebelum hari itu berubah menjadi masa lalu 🙂
Suhu 3 derajat tapi nek cedak diajeng pasti hangat terus, rasanya mak “nyus”, lanjut ndoro…
sing penting salaman disik, ben gak onok salah paham, ben koyok wong no (nahdatoel Oelama)
Ndoro … itu gambarnya ngambil di sini ya?
Jangan2 sampean masih di Cianjur, kalo menurut Mbok Venus hehehe….
mantab… ceritanya.. jangan lupa nonton Liga Italia Live dari Milan 😀
wuih, udh nyampe milan? oleh2 ya ndoro :p
wah jadi ingat jalan cerita di bukunya Dan Brown 🙂
Angels and Demon, who is the angel who is the demon? 😉
ndoro punya hobi ngacak-ngacak rambut diajengnya ya?
*siyul-siyul*
Ndoro , buat apa mengejar mimpi sampai ke Milan?
i’m jealous ndoro…uuuuh..tapi penasaran nunggu episode berikutnya 🙂
Viva la nDoro!!! The Diajeng Saga continues!!!
cepetan ndang mulih tekan milan
mumpung durung konangan karo Gendukblog …
*sopo toh kuwi*
Walah… harus beli kamus nih!
Foto-fotonya Ndoro.
wahhh, diajeng is back!!
wuis pilihan katanya muantab … terpaksa cari2 kamus nih. btw lanjoot ceritanya
salam deh utk diajeng (halah sok kenal)
aku titip oleholeh ndoro…
skrinsut diajeng dong ndoro ..
salam buat asterix, obelix n tolong mintain obat dari mbah dukun panoramix, jolali lho ndoro…
asikkkkk enek postingan diajeng…..
/*comment dulu baru baca
Ndoro, diajeng itu sopo? belum dikenalin di cerita di atas 🙂
wah…asik ya jalan2 ke Milan. mau dong ikut jalan-jalan, sambil liputan. hehe… 🙂
semoga ndoro juga ngga ikut2 an betah di milan dan meninggalkan kepedihan di jakarta. . .
huh.. sayah tertipu..
kirain di milan beneran..
Ndoro,
Sekaligus terusin perjalanannya ke venetie ngga Ndoro?
Udah ngga jauh lho naik kereta api.
bahasanya ketinggian ndoro. yang cocok gaya ngomongnya begitu itu paklik isnogud.
jangan2 yang nulis ini paklik isnogud ?! 😀
Diksi-nya waduh…bikin saya fusing ndoro…
Yo wes lah..terpaksa rela buka kamus besar bahasa indonesia.
Oh aku kira ngeliput fashion. Ndoro kan fashionista. Dulu, celana kolornya aja selalu pake simbol “DG” (Dorce & Gamalama)
Evan titip oleh-oleh Batik Milan dan music bamboo italy (angklung Italia), Ndoro.
ono opo iki….
itu pala kaga ancur2 udah pecah brp kali…
knapa mukaku jadi ketek iki piye…
“Langkahnya langkas. Saya terseok-seok mengikuti di sebelahnya. Nafas tua saya tersengal-sengal.”
Wis tuwo koq isih seneng “maen” karo daun muda. Hehehe…
Hidup DIAJENG…!!!
wah bahasa indonesianya tingkat tinggi! 😀
Waw…
benar atau tidaknya ke Milan gak masalah, yang penting jangan lupa foto Diajeng dalam scene cerita ini… :p
[…] November 20, 2007 by genduk Haiyah! Genduk sibuk sekali beberapa hari ke belakang. Pasalnya, Ndoro Kakung ujug-ujug dapat penugasan ke Milan, Italia, sementara Ndoro Putri sibuk dengan pekerjaan kantornya. […]
Elok, ndoro. Sering-sering nulis kayak gini ya? Saya jadi semakin cinta bahasa Indonesia.
Wuah ndoro, pas tanggal segitui lagi di Milan tokh sampeyan, tau getu mbok yao janjian, jadi aku bisa ganggu jalan2nya ama Diajeng hehehe. Milan emang bagus ya tapi luarange puol opo2 ;(. Sesuk maneh kalo ke Milan tilik diajeng, kabar2 yo sopo ngerti bisa barengan hehehe. Biar Ndoro gak macem2 ;p
aaaa… pengen ke Milano…. tapi nonton AC Milan tanding di San Siro sih..
pujangga balai pustaka memang beda. *menjura*
*tenggelam pada nada dan pemilihan kata, lupa mencermati cerita* jadi panjenengan cerita apa to ndoro? wahihi *dikeplak sak kayangnya*
I like Your Article about Milan Pecas Ndahe Ndoro Kakung Perfect just what I was looking for! .
The Mystery of the Crystal Portal Hello.This post was really fascinating, particularly since I was looking for thoughts on this subject last couple of days….
Hello.This post was really fascinating, particularly since I was looking for thoughts on this subject last couple of days….