Imajinasi Pecas Ndahe

September 9, 2008 § 74 Komentar

Seorang kawan lama mendadak menelepon tadi pagi menjelang siang. Setelah berbasa-basi melempar kata yang tetap segar karena kami memang selalu menghangatkan percakapan, bagaimanapun caranya, dia mengajukan pertanyaan yang agak sulit saya jawab.

“Jawab dengan jujur. Seandainya kamu punya lebih banyak keleluasaan dan uang, kamu mau bikin apa di Pesta Blogger 2008? Seliar apa sih imajinasimu?” dia bertanya.

“Kenapa sampean ingin tahu imajinasi saya?” saya balik bertanya.

“Ha-ha-ha … sudahlah, nggak usah ngeles!” kata kawan saya seraya tergelak. “Ayo jawab!”

Saya tersenyum kecut. Taktik yang biasa saya pakai untuk membelokkan percakapan ternyata sudah terendus oleh kawan setali jiwa saya itu.

“Saya sudah memaparkan semua rencana di blog Pesta Blogger, sampean bisa membacanya sendiri di sana. Apakah rencana itu bakal terwujud atau tidak, ya mari kita usahakan bersama,” jawab saya.

“Halah, kayak aku ini baru kenal kamu kemarin. Itu kan penjelasan resmi, versi press release. Aku ingin tahu versi isi hatimu … seperti biasanya,” kata teman saya setengah mendesak.

Eits, dia rupanya melempar kail. Apakah saya ikan yang dungu?

Saya cuma tersenyum dan tak segera menjawab. Kawan saya mulai tak sabar. “Ayolah, kawan. Kamu mau bikin apa?”

Saya menimbang-nimbang sebelum menjawab. Apa untung dan ruginya? Apakah saya akan beroleh hikmah dari percakapan ini? Apakah dia hanya ingin bercanda dan mentertawakan saya? Dalam hati saya juga bertanya-tanya, teman saya ini mau apa sebenarnya? Apakah dia memiliki agenda tertentu?

Tapi, mengingat persahabatan kami yang bertahun-tahun, dalam senang dan pedih, akhirnya saya menafikan semua pertimbangan. Terserah dia mau percaya, tertawa, sedih, atau justru senang nantinya.

“Oke, sampean ingin jawaban saya sejujurnya. Sampean mau tahu seperti apa khayalan saya tentang sebuah perhelatan? Baik, baik, dengarkan ….

Pagi itu, pada hari ketika pesta dimulai, saya justru ingin mengajak semua kawan hanya memandang embun di pucuk dedaunan sebelum lesap dihalau cahaya, ditemani secangkir kopi. Lebih baik lagi kalau ada gerimis jatuh dan kabut berkelimun.

Saya ingin, setidaknya satu hari dalam setahun kehidupan kita yang berlari secepat halilitar ini, kita mengambil rehat sejenak dan jarak barang semeter dari ranah blog. Kita mengenang kehidupan, merayakan kekosongan.

Barangkali asyik juga kalau kita bisa merasakan angin pagi yang berdesir-desir, mengusir jauh-jauh segala macam imaji, teks, grafis, foto, dan pernak-pernik digital dari laci kepala yang terasa kian sesak. Blog itu baik, tapi ada kalanya kita memerlukan jeda.”

“Ah, sok romantis kamu. Kenapa kamu pengen seperti itu?” tiba-tiba teman saya memotong kalimat imajinasi saya.

“Kenapa tidak?” saya membalas.

Hening. Sambungan telepon kami hanya memperdengarkan bunyi desir halus.

“Apakah tak ada kegiatan lain yang lebih penting? Misalnya kerja bakti, bakti sosial, donor darah, bagi buku, lomba posting, bikin award apa kek, kontes foto, dan sebagainya?” tanya kawan saya lagi.

“Yang sampean sebutkan itu memang penting dan perlu. Tapi, bisa dilakukan setiap saat, ndak usah menunggu nanti. Kita bisa menggelar lomba blog saat ini juga asal ada penyandang dana. Kita bisa membuat kontes blog, foto, atau apa pun besok, lusa, atau pekan depan kalau ada yang bersedia mengurusnya. Ndak perlu menanti Pesta Blogger. Buat saya, kita bisa melakukan apa pun, bisa pesta setiap hari.

Lagi pula, apa semua di antara kita memerlukan aneka penghargaan ini dan itu? Penghargaan barangkali diperlukan sebagai pendorong semangat, apresiasi, tapi mungkin juga tidak. Seperti para guru, jangan-jangan kita memang hanya wajib mengajar dan berbagi tanpa berharap kembali; apa itu namanya, bagai sang surya menyinari dunia?

Sampean juga ndak perlu merisaukan di mana tempat yang paling cocok menyelenggarakan perhelatan. Ndak usah pusing mau di Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau di mana saja. Tuhan toh tak pernah merestui peta. Kita manusia saja yang selalu merepotkan batas-batas. Kita bisa menggelar apa saja di mana saja, dan tak perlu bersengketa ini pesta siapa.”

Saya membuang napas.

“Lantas, bagaimana dengan tuan-tuan dan puan-puan baik hati di gedung tinggi yang sudah memberi perhatian dan dukungan itu? Mosok mereka tak kamu beri barang semenit pun, katakanlah untuk pidato?” tanya kawan saya agak kurang puas.

“Saya sebetulnya bahkan tak membutuhkan suara apa pun lagi untuk merayakan kebersamaan di ranah blog, kecuali suara hujan jatuh, desah angin, dan gemericik air. Kuping saya sudah terlalu sering menjadi tempat sampah. Sesekali saya ingin mendapat yang segar dan cerah. Satu hari saja.”

Klik. Mendadak kawan saya mematikan telepon. Saya baru sadar telinga saya begitu panas.

>> Selamat siang, Ki Sanak. Apakah kuping sampean juga sudah panas?

Tagged: , , , , , , , ,

§ 74 Responses to Imajinasi Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Imajinasi Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: