Elegi Pecas Ndahe
Januari 10, 2009 § 37 Komentar
Sepucuk surat jatuh ke sungai. Arus yang liar menghanyutkannya ke sana kemari. Seorang pengelana menemukannya pada sebuah pagi, ketika gerimis jatuh setengah hati.
Diambilnya surat yang ditulis di atas kertas biru itu lalu dibacanya. Pelangi mewarnai langit di cakrawala ketika pengelana itu mulai membaca kalimat pertama.
“Kepada perempuan wangi melati yang selalu menanti di dini hari. Dari lelaki pengejar matahari.”
Pengelana mengernyitkan dahinya saat membaca larik-larik kalimat yang tak biasa itu. Ia lalu merebahkan badannya yang penat ke atas hamparan savana yang masih basah oleh gerimis.
Lelaki pembuat surat ini mungkin sedang mengigau ketika menulis. Barangkali setengah majenun. Begitu pengelana membatin. Tapi ia penasaran juga, lalu meneruskan membaca surat yang tulisannya nyaris memudar itu.
“Perempuan wangi melati, kutulis surat ini setelah tujuh purnama kau terbang bersama bayang-bayang. Kau bilang butuh ruang, juga jarak.
Untuk apa? Aku bertanya.
Kau jawab demi kita.
Kita adalah gagasan yang rumit. Antara ada dan tiada. Pernah ada masanya kau dan aku satu. Tapi tak menjadi kita.
Kita mungkin seperti matahari dan hujan. Bisa melahirkan pelangi, tapi tak selalu di ranjang yang sama.
Kita barangkali sebuah angan yang absurd. Tentang unifikasi sebuah relasi yang menggetarkan, sekaligus memedihkan.
Itu sebabnya, mungkin, kau butuh jarak dan ruang. Demi kita.”
Pengelana mengambil jeda. Diembuskannya napas yang panjang, lalu matanya menerawang, ke arah langit yang sebentar lagi memerah. Ia seperti mendengar angin mendesah-desahkan nyanyian, sebuah elegi pagi.
Sekali lagi dipandangnya surat itu. Lalu disusurinya setiap baris kalimat yang tertera. Embun baru saja lekas ditiup cahaya, secepat mata pengelana melahap setiap kata.
“Duhai perempuan wangi melati. Aku tahu kita tak hidup di taman tempat berteduh. Pun juga di telaga yang tenang. Hidup kita adalah kereta harapan yang bersicepat dengan waktu.
Aku juga mengerti penantianmu di setiap dini hari — menungguku mengejar matahari, memburu cerah hati — membuatmu ditikam sepisau sepi.
Kau boleh sebut diriku Sisipus dari Negeri Dongeng. Kau boleh katakan diriku pecundang tolol dari Bukit Sia-sia. Tapi perlu kau tahu, aku pun melakukannya demi kita.”
Ugh, kita. Pengelana itu mencibir. Ia seolah mendengar kicauan pungguk yang merindukan bulan.
“Duhai perempuan wangi melati. Tujuh purnama kulewati seraya meringkus sepi. Sendiri. Aku sesat dalam tanya dan … ”
Hanya sampai di situ kalimat itu terbaca oleh pengelana. Tulisan selanjutnya pudar tersapu air. Pengelana jadi penasaran dan menebak-nebak apa gerangan kalimat berikutnya.
Adakah perempuan wangi melati sempat membacanya? Adakah lelaki pengejar matahari beroleh jawab? Pengelana terus bertanya dan bertanya …
>> Selamat hari Sabtu, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean sudah melihat matahari?
Beri peringkat:
Terkait
Tagged: cerpen, liris, metafora, prosa, reverie, silent
elegi pasti tidak sama dengan epahit apalagi ekecut 😀
karena ini masih dini hari, aku belum liat matahari, hujan deras pula 😛
perempuan wangi melati? kok kayak kuburan ya, ndoro? 😛
Sepertinya lelaki pengejar matahari itu tak bertanya pada perempuan bermelati, dia hanya tampak gundah pada dirinya sendiri.
malem-malem baca cerita panjang..
*ngguyu dhewe baca komennya mantan kyai*
saya tadi menikmati sore hari yg basah ditemani alunan konser burung blekok, kenari, gereja, entah apalagi, plus ditabuhi kecipak kolam, kodok yg lg pemanasan utk konser malam, dan orong-orong.
tanpa matahari. dan damai.
makan bakso di pinggir pesarean.
banyak rasa campur ngeri.
mau ngaso dari pekerjaan.
iseng-iseng komen saya isi.
hanya sekadar.
😛
Sebuah elegi yang indah dan menggetarkan, Ndoro.
Saya belum lihat matahari sekarang Ndoro, lha wong, masih dini hari, mana ada matahari? hehehe… 😀
“Duhai perempuan wangi melati. Tujuh purnama kulewati seraya meringkus sepi. Sendiri. Aku sesat dalam tanya dan … “
Dasar lelaki kurang kerjaan… hik….3x
selamat hari sabtu juga ndoro … sudahkah kita usir sepi kita hari ini?..
Wuih, puitis banget ik … jan ciamix tenan jee hahohahoheho
Salam
Ben,
yang ada pula di http://benagewe.blogdetik.com
ini masih ada sambungannya jugakah eleginya ??
matahari di luar sedang panas, tak sanggup ku menatapnya, hanya bisa menikmati kehangatannya
so sweet
tulisan akhir pekan yang penuh kata-kata indah. menghanyutkan dan menentramkan.
saya boleh jadi pengambara nya ngg ndoro?
upsss….suratnya nyaris sama 😦 dan saya lom posting. pasti tar dikira niru2 ndoro…
Baru tujuh purnama Om, belum kerennnnn… Aku sudah ngerasain yang 90 purnama 🙂 hi.. hi.. hi..
Saya da menatap matahari mulai pagi tadi ndoro… hmmm…
ya saya setuju banget…
ngerti aku, kalo ketemu pasti udah dihadang KPK…
kyakyakya…
dongeng permintaankuuuuuu….. (dance)
aku pernah menjadi seorang pengelana yang bertanya pada perempuan wangi melati, pertanyaan yang tak terdengar dan takkan pernah dia menjawabnya, mengapa kau tinggalkan ruang hatiku yang hangat tuk mengejar bule impian di lembah bersalju, putih membekukan, dingin dan mengharap kehangatan..
aih aih…
puitis sekali kiranya kisanak ini
heheu.
mampiir… ?>.<
malam ini muncul bulan purnama
Terperangkap di antara warna nyata dan mutiara damba, perempuan wangi melati beranjak pergi sejenak… tuk lebih memahami sebuah kata “kita”.
Lalu, ia kembali… dengan setangkup haru dalam rindu…
e-legi,
hari pasaran legi ya?
Terik, Ndoro.. Terik matahari hari ini!
Disitu terik ndak..? Terik tahu apa terik tempe..? 🙂
masih bersambungkah cerita ini ?
ditunggu sambungannya ndoro
si lelaki tak lagi mengejar matahari, karena perempuan itu tak lagi memiliki wangi melati…
saya tak perlu melihat matahari. cukup merasakannya.
Sisa kalimat di ujung surat memaku mata pengelana.
“Surga ini tidak sempurna, kasihku. Tapi dia milik kita. Dan hanya ini yang kita punya.”
Pengelana terpaku. Tergugu.
masa sih?????????????
walah, ga mudheng 😕
hmmmmmmmm keren juga imajinasinya
????????????????????????????????????????????????????????????????????
perempuan wangi melati lg baca ni ndoro,, hehhe
puitis bgt ndoro,,
If she’s dumber than a fence post she is smart enough.