Facebook Pecas Ndahe

Februari 17, 2009 § 144 Komentar

Ponari punya batu ajaib. Kita punya Facebook. Sama-sama irasional. Mereka yang percaya keduanya tak perlu saling mencemooh.

Begitulah pesan seorang kawan kepada saya pada sebuah pagi yang malas. Saya terhenyak ketika pesan itu memasuki Inbox dan saya membukanya.

Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa teman saya yang bermukim di sebuah pelosok desa di Bali itu bisa mengambil kesimpulan seperti itu?

“Itu perlunya Anda membuka cakrawala berpikir yang lebih luas,” kata teman saya itu.

“Oh, baiklah, Guru. Mohon murid yang masih banyak belajar ini diberi pencerahan,” begitu saya meminta pada orang yang sudah saya anggap sebagai guru spiritual pribadi itu.

Maklum, dia petinggi agama. Ia mengajarkan kebajikan dan moralitas. Saya menjura dalam-dalam padanya.

“Begini,” kata kawan saya itu. “Legenda tentang Ponari dan batu ajaib semacam itu ada di berbagai belahan dunia mana pun. Anda boleh percaya, boleh tidak.

Tapi kita hanya akan membuang energi kalau memperdebatkan hal ini sebagai takhayul, mistik, irasional, atau bahkan ‘ajaran sesat’, karena ada ‘dunia lain’ di sekitar kehidupan kita ini.

Ponari dengan batu ajaib yang konon dari petir itu punya komunitas, mereka adalah ‘warga dunia’ yang mungkin berbeda dengan warga dunia lainnya. Tak bisa saling menyalahkan.

Orang yang berjam-jam di depan komputer karena asyik dengan Facebook, bisa dicap gila oleh petani sayur yang tak paham apa itu Facebook.

Apakah batu Ponari itu betul ajaib pun tidak usah diteliti dengan cara-cara ‘orang sekolahan’. Semakin ‘dilecehkan’ batu itu, semakin kuat kepercayaan komunitas Ponari bahwa batu itu memang berkhasiat.

Biarkan saja batu itu nanti yang ‘bicara’, apa dan siapa sesungguhnya dia, sang batu.

Saya punya cerita tentang bagaimana takhayul bisa menggelikan. Syahdan beberapa tahun lalu di Bedugul, Bali, ada pohon yang meneteskan air padahal musing kering tak kepalang. Entah siapa yang memulai, orang berbondong-bondong datang ke sana meminta berkah dan kesembuhan. Irasional, kata sejumlah dokter. Takhayul, kata tokoh agama. Konyol, kata orang kantoran.

Namun, orang tak surut dan terus pergi ke sana. Orang baru meninggalkan pohon itu ketika diketahui ada gerombolan burung kecil yang hinggap di sana dan kecing ramai-ramai.

Anda tahu nggak, kabar tentang air pohon yang bisa dijadikan obat itu ternyata cuma bualan tukang ojek?”

“Ha-ha-ha ….” saya ngakak mendengar absurditas konyol itu. “Tapi Guru, bagaimana menjelaskan bahwa ada orang sembuh dari kencing burung atau sembuh dari air yang dicelupkan batu oleh Ponari?” saya menyela. “Ilmu kedokteran mana yang bisa mengurai hal itu?”

“Itu namanya, menurut mereka yang percaya, adalah ilmu kedokteran spiritual. Tubuh ini, kata penganut ilmu itu, bisa mengobati dirinya sendiri yakni dengan cara membangkitkan tujuh cakra utama yang ada dalam tubuh.

Pembangkitan cakra atau lazim juga disebut pembangkitan kundalini adalah hal yang dicari berbulan-bulan oleh penggemar meditasi. Namun, ada orang yang bisa membangkitkan tujuh cakra itu dengan instan dan tak perlu kursus meditasi dengan membayar pengajar segala, jika orang itu menyerahkan seluruh keyakinan dengan bulat dan seratus persen pada satu obyek tertentu.

Kebulatan tekad itu yang membangkitkan tujuh cakra utama dalam tubuh. Ini yang dimiliki oleh komunitas Ponari. Tentu tak semuanya sembuh karenanya ada yang sukses ada yang gagal membangkitkan cakra utama itu.

Batu ajaib, keramik ajaib, tongkat ajaib, hanya obyek. Ketika obyek itu jatuh wibawanya dan tak lagi bisa dijadikan obyek untuk membulatkan keyakinan, orang akan meninggalkannya.

Maka, biarkan saja Ponari memainkan obyeknya, sepanjang obyek itu tidak mencelakakan orang.”

“Eh, tapi kan sudah ada empat warga yang tewas saat mengantre, Guru,” saya mengingatkan.

“Ah itu ekses menemui obyek. Kalau antrean komunitas Ponari itu ditertibkan sejak awal, tak perlu ada korban. Tapi lebih dari semua itu, saya melihat batu itu sudah jatuh wibawa. Buktinya, ketika Ponari jatuh sakit, orangtuanya membawanya ke dokter di rumah sakit.

Yang penting, kita – Anda dan saya – yang gemar chatting, memelototi Facebook, bergosip di milis, tak usahlah mencemoh. Toh kita pun juga sangat irasional di mata mereka.”

Mendengar kalimat terakhir kawan saya itu, saya pun tertegun. Mungkin dia ada benarnya. Dan jangan-jangan kita sebenarnya juga sudah mulai irasional karena terlalu lama menghabiskan waktu di depan PC hanya untuk bergunjing di milis, melihat status teman di Facebook, buang sampah di Plurk ….

>> Selamat hari Selasa, Ki Sanak. Berapa lama sampean rata-rata menghabiskan waktu mengakses Internet dalam sehari?

Tagged: , , , , , ,

§ 144 Responses to Facebook Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Facebook Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: