Aceh Pecas Ndahe

April 24, 2009 § 54 Komentar

acehjourneySEJARAH kembali berderak-derak di Nanggroe Aceh Darussalam. Pernah jadi negeri yang dikoyak-koyak oleh operasi militer, dihembalang tsunami, kawasan itu kini mencoba bangkit dan menyongsong masa depan. Luka-luka masa lalunya yang pedih nyaris 100 persen sembuh.

Saya melihat Aceh yang kembali hidup di warung-warung kopi yang tak pernah sepi sepanjang hari. Gampong-gampong yang pikuk selepas magrib, Pantai Lampuuk dengan debur ombak yang tak putus dan pasir putihnya yang lembut, juga para blogger Aceh yang ramah dan bersahabat.

Saya beruntung sempat ke Aceh pada 22 April lalu untuk bertemu dengan kawan-kawan blogger di sana, sekaligus menghadiri acara peluncuran dua situs baru, Aceh Journey dan AcehPedia. Acara bertema Mari Menuliskan Aceh ini diselenggarakan di Aceh Community Center, Banda Aceh, dan dihadiri lebih dari 200 peserta.

Suasana seminar dari atas panggung.

Suasana seminar dari atas panggung.

Di sanalah, untuk pertama kalinya saya bertemu Fadli Idris dan Tgk. Muda Bentara dari Komunitas Aceh Blogger, Abe Poetra, dan Dudi Gurnadi dari Air Putih.

Dari Fadli, saya beroleh kabar perihal KAB yang berdiri pada 2007 ini sekarang mempunyai 200 anggota, terserak di seluruh Aceh dan luar negeri. “Ada juga anggota kami yang tinggal di Mesir,” kata Fadli.

Mereka bahkan mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi NAD. Pemerintah setempat, misalnya, menyediakan layanan blog hosting gratis untuk warga Aceh yang ingin membuat blog di Nanggroe.

Yang menarik, pengelolaan dan perawatan Nanggroe diserahkan sepenuhnya kepada KAB. Hingga Kamis lalu, layanan dengan mesin WordPress Multi Users itu sudah menampung lebih dari 120 blog, dan saya yakin akan terus bertambah.

Layanan blog hosting seperti ini tentu saja akan sangat memicu tumbuhnya calon-calon blogger lokal. Selain itu, bandwidth bisa dihemat. Pengguna tak perlu memakai layanan sejenis di luar negeri. Pengelola pun berpotensi merangkul lebih banyak komunitas dan memicu pelbagai aktivitas.

Dengan merangkul komunitas lokal dan menyediakan akses secara luas, pemerintah Aceh tampaknya berkehendak memperkaya content lokal, seperti yang terlihat dari munculnya situs Aceh Journey dan Acehpedia itu.

Aceh Journey itu ibarat ikhtiar melawan lupa, sebuah wadah untuk mengumpulkan kisah dan kesaksian warga Aceh. Situs berbasis user-generated content ini digagas oleh Mardiyah Chamim, wartawan Tempo, dan didukung beberapa lembaga, yaitu Yayasan Air Putih, Aceh Information Technology Development, Ford Foundation, GEF-Small Grant Programme Indonesia, IndosatM2, Sekolah Menulis Dokarim, dan Yayasan Bina Usaha Lingkungan.

“Saya ingin mengundang partisipasi penduduk untuk menuliskan pengalaman dan bersaksi atas proses yang telah dan sedang dijalani Aceh,” kata Mardiyah yang juga penulis buku Sejarah Tumbuh di Kampung Kami.

Adapun Acehpedia, yang konsepnya sama dengan Wikipedia, dibangun untuk menjadi pangkalan data (database) khazanah Aceh yang berisi koleksi terlengkap dokumen-dokumen, foto-foto dan bukti-bukti sejarah lainnya, seperti kitab-kitab karya penulis Aceh sejak zaman keemasan, masa pemerintahan raja-raja Aceh, katalog karya seni khas daerah, dan sebagainya, sebagai upaya pelestarian kebudayaan Aceh.

Acehpedia juga akan diisi dengan informasi kontemporer mengenai Aceh, misalnya pemulihan Aceh pascatsunami. Ia diharapkan akan menjadi forum interaksi antarwarga Aceh sehingga dapat membuka sekat-sekat informasi yang selama ini bersemayam di masyarakat.

Pengelolanya juga berharap Acehpedia dapat menjadi sebuah rujukan yang andal dan bertanggung jawab tentang Aceh dan akan menjadi sarana yang cukup efektif untuk mempromosikan Aceh beserta kekayaan kebudayaannya ke seluruh dunia.

mie-aceh

Mie kocok dan kopi Aceh di Solong

Kampong Punge dari atas kapal yang terdampar

Kampong Punge dari atas kapal yang terdampar

Pantai Lumpuuk, Lhoknga, Banda Aceh

Pantai Lumpuuk, Lhoknga, Banda Aceh

Gubuk-gubuk di Pantai Lampuuk

Gubuk-gubuk di Pantai Lampuuk

Sayang sekali, hanya sebentar saya singgah di Aceh. Padahal saya belum sempat bertemu kawan-kawan Aceh blogger lain. Belum semua tempat eksotis yang sempat saya lihat. Meski begitu, saya tetap merasa beruntung karena sempat menyesap kopi Aceh yang nikmat dan mencicipi dodol Aceh yang bikin kepala kliyengan itu. Saya berharap suatu saat nanti punya kesempatan datang lagi … melihat Aceh yang lebih bergemuruh.

>> Selamat hari Jumat, Ki Sanak. Apakah sampean masih ingat bagaimana wajah Aceh sebelum tsunami datang?

Tagged: , , , , ,

§ 54 Responses to Aceh Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Aceh Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: