Perpisahan Pecas Ndahe

September 11, 2009 § 56 Komentar

senja-kereta:: untuk para pemudik yang mulai berangkat ke stasiun …

Senja memantulkan sinarnya di jendela kereta api sore itu. Para penumpang berdesakan naik ke gerbong. Stasiun berubah bagaikan sarang lebah yang digebah. Lampu-lampu peron menyala satu-satu.

Perempuan bermafela putih itu menyipitkan mata, meredam silau. Ditatapnya paras yang memerah dari jendela senja buram kereta api. Dia baru sadar. Pipinya tomat matang.

Di luar, rel kereta berliuk-liuk panjang seperti jalan hidup yang harus ditempuh esok hari. Angin dingin tiba-tiba mengelus tengkuk. Ia mendesah. Perlahan. Kerah bajunya dia naikkan.

Setiap detik jantung perempuan itu tambah berdetak kencang. Dadanya jadi bergemuruh mirip raung suara lokomotif di ujung stasiun. Ia mencemaskan senja yang jatuh di barat dengan muram.

Tiba-tiba perempuan itu terlonjak kaget. Peluit kepala stasiun memekik keras. Tangannya yang membawa bendera hijau terangkat tinggi, mengibas-ibas, tanda kereta boleh berjalan. Hati perempuan itu kian puspas. Seraut wajah yang dicarinya dari tadi tak kunjung terlihat.

“Adakah dia melanggar janji? Lupa? Kecelakaan?” perempuan itu membatin. Tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan. Kepalanya celingukan.

Penumpang di sebelahnya melirik sebentar. Menurunkan kacamata. Lalu kembali membaca koran sore yang sudah lusuh. Headline-nya berbunyi, “Jumlah Pemudik Naik Dua Kali Lipat.”

Perempuan mafela putih kian resah. Tangannya mencengkeram sandaran tangan di tempat duduk. Roda-roda besi kereta mulai bergerak pelan. Enggan. Mesin-mesin mendengus. Makin lama makin kencang. Rombongan pengantar melambaikan tangan. Aneka rupa wajah. Riang. Kosong. Senyum. Pucat. Sedih. Semua bernasib sama: ditinggalkan.

Lelaki itu memilih berdiri di ujung peron ketika kereta yang ditumpangi perempuan bermafela putih meluncur ke timur. Sengaja berlindung di balik tiang besi bundar seukuran pohon-pohon meranti dewasa di jantung hutan Kalimantan. Diperhatikannya deretan jendela kaca yang bergerak seperti pita seluloid film di proyektor.

Suara adzan berkumandang dari masjid di samping stasiun. Lelaki itu mengambil sebotol air dingin dari ransel di pundaknya. Tutupnya dia buka perlahan sambil matanya terus menatap kereta yang melayap. Lalu isinya buru-buru ditenggak separuh.

“Alhamdulillah,” terdengar lelaki itu mengucap syukur seraya mengelap bibirnya yang basah.

Kereta api berlari cepat. Makin jauh meninggalkan stasiun. Lelaki itu mendengus perlahan. Matanya nanar. Tangannya merogoh saku jaket. Diambilnya secarik kertas biru yang kemarin diterimanya lewat pak pos keliling. Dia baca lagi baris-baris kalimat yang membuat hatinya berdarah-darah bagaikan teriris sembilu.

kangen dirimu.
yang selalu tersenyum meski dirajam kemarau

tahukah kamu
hujan, taman menteng, setiabudi, bakerzin, Grand Indonesia selalu sukses membuatku teringat padamu
tapi sayang kau lekas pergi
menggelandang bersama bintang-bintang menuju dinihari

adakah waktu buat kita?

Kita? Lelaki itu merasa sama sekali tak pernah memiliki lema “kita” dalam kamus hidupnya. Ia merasa asing dengan istilah itu sejak belasan tahun yang lalu. Pada sebuah masa ketika salju jatuh di atas sahara dan membekukan air matanya …

>> Selamat hari Jumat, Ki Sanak. Apakah sampean yang akan mudik sudah mendapat tiket?

Tagged: , , , , ,

§ 56 Responses to Perpisahan Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Perpisahan Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: