Golkar Pecas Ndahe
September 29, 2009 § 29 Komentar
Setiap partai politik berpotensi retak. Anggotanya tidak kompak. Apalagi menjelang kompetisi merebut kursi nomor satu sebagai ketua partai. Salahkah ketidakkompakan?
Ada masanya ketika di Jepang orang berbicara tentang harmoni dalam sebuah ide, atau “rumah” kita. Tapi partai-partai politik seringkali terdengar sebagai sebuah rumah gila. Masing-masing gaduh oleh pertikaian antara habatsu — kelompok-kelompok dalam partai.
Saat Partai Liberal-Demokrat berkuasa, misalnya, dia bukan saja terbentuk oleh dua partai. Masing-masing partai yang tergabung juga membawa kelompok yang bertentangan dalam dirinya.
Ada persaingan sengit antara orang-orang yang memasuki kehidupan politik dan latarbelakang sebagai birokrat. Mereka menghadapi tojin, yang karir politiknya berasal dari lembaga perwakilan tingkat bawah sampai atas.
Ada pula orang-orang yang berkelompok di bawah satu bos, karena sang oyabun mampu mengumpulkan dana politik. Uang ini penting, tentu saja: diperkirakan 100 juta yen diperlukan untuk kampanye agar seorang calon anggota partai menang. Seorang calon yang menerima bantuan dari seorang oyabun dengan demikian masuk, dan setia, kepada sang bos sebagai pemimpin kelompok.
Jika demikian halnya, apakah sebenarnya yang menyebabkan sejumlah habatsu timbul? Perbedaan ideologis?
Agaknya bukan.
Prinsip? Juga hampir tak pernah. Partai Liberal-Demokrat menamakan diri “pragmatis”. Dan itu artinya ia tak terlalu repot dengan ideologi ataupun prinsip.
Barangkali kata yang paling dekat untuk menjelaskan fenomena khas Jepang ini ialah “kesetiaan”. Kesetiaan itu terjalin dalam hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Ikatan pribadi begitu penting. Barangkali itulah sebabnya, bagi orang luar, kegaduhan dalam Partai Liberal-Demokrat jadi membingungkan.
Ada yang mengecam kehidupan politik macam itu sebagai satu penerusan dari masa feodal lampau. Di masa yang telah lewat itu, para hamba sahaya bergabung di bawah seorang tuan: para samurai mengabdi kepada seorang shogun, pribadi. Ada pula yang menganggapnya sebagai semacam kemacetan sistem demokrasi yang sebenarnya: partai pada akhirnya selalu dikuasai orang konservatif, dan kehidupan politik pada akhirnya berkisar pada kehidupan tokoh-tokoh.
Lagipula, bukankah ketidakkompakan yang terjadi karena itu bisa merusak? Tidakkah partai lebih sering digiring oleh oportunisme, dan tak ada perekat ideologis yang mempertautkan faksi yang berpecah-pecah?
Maka salahkah ketidakkompakan? Di Partai Liberal-Demokrat di Jepang jawabnya ialah tidak selalu. Kita ingin tahu bagaimana jawabnya di partai besar di negeri lain — misalnya Partai Golkar.
Kita tahu Partai Golkar sedang “gaduh” dan dilanda “ketidakkompakan” gara-gara rebutan kursi ketua umum menjelang Musyawarah Nasional di Pekanbaru, Riau 4 hingga 7 Oktober mendatang. Ada, setidaknya, tiga kubu yang bersaing. Tapi siapa sih, yang masih peduli pada kegaduhan dan ketidakkompakan di partai yang citranya terus menurun ini?
>> Selama hari Selasa, Ki Sanak. Apakah sampean masih mengikuti berita tentang Partai Golkar?
“Gaduh” pas mau ada pemilihan sesuatu bukannya biasa saja? Dimana-mana memang begitu. Kalau “gaduh” setelah pemilihan baru aneh namanya.. 😛
Sistem feodal yang nampaknya masih dipertahankan.
Dan saya tidak habis pikir jika keluarga cendana itu yang terpilih.
Perasaaan mengatakan kalau Pakde Ndobos punya banyak komentar soal politik di Jepang.
sepertinya pohon beringin yang sedang diterpa angin.
Saya suka kalimat yang terakhir…dah capek..bosen…dan saya termasuk sedikit ato banyak ya? yang tidak peduli dengan kegaduhan dan ketidakkompakan itu.
*Selalu suka cara penyampaiannya ndoro*
yang peduli itu penonton TV One dan Metro TV, karena terganggu dengan dongeng kedua para bosnya itu *tepuk jidat*
lah emangnya semua penonton teve itu simpatisan partai golkar dan punya hak suara dimunas apa? sampe2 kedua teve itu menyajikan dan meracuni penonton dgn dongeng mereka berdua hehehehe
he?
emang GOLKAR mau Munas yah?
*lol
Saya megang Tommy! :)) serius ini, biar mbalik kayak orba, lebih aman dan tentram.
Baasyir aja ga brani balik indo waktu orba… :))
Nonton sambil cengar-cengir iki.
All about interest…
Yang pasti ndor, kok ada yang memperebutkan posisi ketum Golkar? Udah keluar duit banyaaaaak banget (bukan saja karena ‘loyalitas’ berharga mahal, tapi gengsi dan bluffing tidak kalah mahal karena ditunjukkan lewat iklan). Terus kalau kepilih jadi ketum, emang anggotanya bakal nurut atau loyal? Hehehe, kok banyak bukti yang menunjukkan sebaliknya…
Golkar selalu menjadi sorotan, semenjak melewati orba bayang-bayang golkar selalu menempel di pemerintahan, sekarang setelah capres nya kalah telak, apa masih tetap berkualisi atau jadi oposisi, sementara lagi ribut cari ketum.
weleh-weleh… dagelan opo meneh iki Mas
terlalu banyak ‘gaduh’.. padahal munas yo munas ae.. gitu aja kok repot *kata gusdur* hehehe
saya ndak ngikutin ndoro, yang 3 kubu itu aja saya ndak tau siapa aja..
apakah golkar kini sama dengan golkar dahulu? jelas beda dong, kalo jaman dulu simpatisannya lagi kampanye pasti tangannya piss (angka dua), kalo sekarang…. *bingung*
siapapun ketuanya, kayaknya ga ngaruh buat saya deh… hahahaha
coba pake sistemnya kerajaan kecil macam pesantren.. ga kisruh
ada koq yang perduli Ndoro….MetroTV (yang punya Surya Paloh itu) dan TVone (yang punya Aburizal bakrie itu)… 😀
biarin aja gaduh sendiri..
ga peduli lah 😆
seru ya..
itu lapindonya terlupakan..
pantes telingaku berdengung rupanya ndoro ngomongin politik golkar pulak 🙂
saya punya feeling, man behind the scene-nya GLOKAR dulu sekarang ada di Demokrat. bener ngga ya?
Ah.. Politik ! Emoh 🙂 maap ndoro
biarkan mereka gaduh, kini saatnya kita yang nonton sambil medang kopi!
Gaduh di partai mana saja tidak berpengaruh buat saya, wong saya ini golput..he..he..he.
Golkar, Partai Golkar, atau Golkar Baru Ndoro? hiks…
saya hampir gak pernah mengikuti berita tentang partai ndoro
kalo tentang citara golkar yang semakin lama semakin menurun sih, tau!!!
ketidakkompakkan???
sala nggak yah???
ya, pasti salah di saat kondisi tertentu menuntut kekompakan *halahhhh*
Tak ada kawan sejati …memang benar ya… salut atau sedih …ah diam sajalah
Saya ngikutin ndoro… Pengen tau gimana elit golkar bersaing… 🙂
sepertinya pohon beringinnya sedang diterpa angin.
Golkar semula mau oposisi tapi kabarnya beralih menjadi bersahabat.
Apapun bentuk perannya yang penting selalu diabdikan untuk kepentingan rakyat,bangsa dan negara.
Jika oposisi hanya ” asal beda, asal menyerang pemerintah” ya kasihan bangsa ini donk dan tentu juga kasihan rakyatnya.
Salam hangat dari Jombang