Etika Pecas Ndahe

Desember 14, 2009 § 37 Komentar

Umurnya baru sebelas tahun, dan setiap kali ada kesempatan, dia pergi memancing di dermaga di depan kabin keluarganya di sebuah pulau di tengah sebuah danau di New Hampshire.

Syahdan menjelang dimulainya secara resmi musim penangkapan ikan bass, anak laki-laki itu dan ayahnya memancing di awal senja.

Mula-mula mereka hanya berhasil menangkap sunfish dan perch (sejenis ikan air tawar) dengan umpan cacing. Namun ketika malam datang, joran anak itu melengkung. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang sangat besar tersangkut di ujung pancing. Segera saja ia menarik-ulur senar.

Dari jauh, ayahnya mengamati dengan kagum saat anak lelaki itu dengan tangkas menangani tangkapannya di sepanjang lantai dermaga. Ia melihat anaknya benar-benar sosok yang gigih dan tak mudah menyerah.

Pertarungan ternyata hanya berlangsung sebentar. Setelah bertahan dari menit ke menit, melawan tarikan dan uluran joran, ikan itu kelelahan. Ia pasrah ketika anak itu mengangkatnya keluar dari air.

Olala! Tangkapannya memang benar-benar seekor ikan yang besar. Anak itu berteriak kegirangan melihat hasil tangkapannya. Itu ikan terbesar yang pernah dilihatnya.

Tapi itu ikan bass!

Si anak lelaki dan ayahnya mengamati ikan yang indah itu di bawah sinar rembulan. Insangnya bergerak-gerak, membuka dan menutup.

Sang ayah lalu mengambil korek api, menyalakannya, dan melihat arlojinya. Sudah pukul 22.00 — tepat dua jam sebelum musim penangkapan ikan bass dimulai. Dia melihat ikan bass itu, lalu ke anak lelakinya.

“Kau harus mengembalikannya, Nak,” katanya

“Ayah!” teriak anak itu.

“Masih banyak ikan lain,” kata ayahnya.

“Tapi kan nggak sebesar ini,” anaknya tak mau kalah.

Anak itu memandang berkeliling seputar danau. Tak ada pemancing lain atau perahu di sekitar mereka. Dia menoleh lagi ke ayahnya.

Meskipun tak ada seorang pun yang melihat mereka, dan tak akan ada seorang pun yang tahu jam berapa dia menangkap ikan itu, anak itu tahu dari suara tegas ayahnya bahwa keputusan itu tak bisa dibantah atau dilawan. Perlahan-lahan dia melepaskan kailnya dari mulut ikan bass raksasa itu, lalu menurunkannya ke dalam air yang hitam.

Satwa air itu segera melesat tubuhnya dan hilang dalam sekejap ditelan gelap. Si anak yakin sekali bahwa dia tak akan pernah lagi bisa menemukan ikan sebesar itu.

Kejadian itu berlangsung lebih dari 30 tahun yang lalu. Sekarang anak lelaki itu sudah menjadi seorang arsitek sukses di New York City. Kabin ayahnya masih ada di pulau di tengah danau. Si anak sering mengajak anak dan istriya memancing di dermaga yang sama.

Rupanya dia benar. Dia tak pernah lagi berhasil menangkap ikan sebesar yang pernah ditangkapnya pada malam 30 tahun yang lalu. Tetapi dia menyaksikan ikan yang sama — berkali-kali — setiap kali dia berhadapan dengan masalah etika.

Sebab, seperti yang telah diajarkan ayahnya, etika sebenarnya sederhana saja, membedakan antara yang benar dan yang salah. Mempraktikkan etika itu yang sulit.

Ki Sanak, saya memperoleh kisah tentang anak lelaki dan ikan bass itu dari buku karangan Stephen Covey, Everyday Greatness.

Saya tertarik pada moral ceritanya. Tentang etika. Tentang benar dan salah. Dan ihwal bagaimana mempratikkan etika itu.

Apakah kita bersedia berbuat benar ketika tidak ada orang? Misalnya di perempatan ketika lampu merah menyala di dinihari, apakah sampean akan menerobos?

Apakah kita menolak mengerjakan sesuatu dengan cepat, mudah, dan murah agar selesai tepat waktu? Tak menunda-nunda dan menumpuk pekerjaan?

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Apakah di awal pekan ini sampean sudah siap kembali bekerja tanpa menunda pekerjaan?

Tagged: , , , ,

§ 37 Responses to Etika Pecas Ndahe

  • -alle- berkata:

    sudah siap bekerja tapi gak ada kerjaan yg perlu dikerjakan ndor!
    *bakar ikan bass*

  • gustulank berkata:

    Selamat hari senin ndoro…

    “Apakah kita menolak mengerjakan sesuatu dengan cepat, mudah, dan murah agar selesai tepat waktu? Tak menunda-nunda dan menumpuk pekerjaan?”

    ups, kena banget.. 🙂

  • elia|bintang berkata:

    seorang biarawan bisa jadi sangat berbelas kasihan saat ketemu orang cacat di pinggir jalan, tapi bisa juga dia cuek aja karena udah terlambat misa.

    mnrt saya, etika dan integritas manusia itu sangat dipengaruhi oleh konteks. pada dasarnya, kita semua itu baik sekaligus jahat kan.. 😀

    • hanny berkata:

      seorang biarawan bisa jadi sangat berbelas kasihan saat ketemu orang cacat di pinggir jalan, tapi bisa juga dia cuek aja karena udah terlambat misa — like this, el!

      jd ingat kemarin selesai baca The Palace of Illusions-nya Divakaruni: antara menepati janji dan kesetiaan atau mempraktekkan belas kasih terhadap sesama–mana yang menjadi pilihan?

  • mas stein berkata:

    sarapan yang indah di senin pagi. kalo saja tiap orang di negara kita menghiraukan etika, ndak akan carut marut negara ini ndor 🙂

  • Bodrox berkata:

    Lha kalau mengembalikan koruptor kakap ke kolamnya, gara2 melanggar ‘etika’ (baca: politik atau apalah) itu gimana bos..

  • suprie berkata:

    iya ndoro, yang penting ketika mempraktekkan etika itu,
    orang bisa bicara mana yang baik mana yang salah, tapi gak semua orang bisa mempraktekkan…apalagi ketika dia merasa tidak terlihat

  • Daus berkata:

    Loh, bukannya berbuat “benar” itu tidak lebih baik daripada berbuat “baik” 🙂

    Coba cek lagi twitter sampeyan 😛

  • edratna berkata:

    Etika inilah yang setiap kali menjadi arahan kita sebelum mengambil langkah atau membuat keputusan.

  • Hari Mulya berkata:

    jadi semangat bekerja nih…

  • tukangpoto berkata:

    Terkadang kita mengerjakan sesuatu itu tergantung dari keadaan, tapi sebaiknya kita tetap melakukan yang benar karena rewardnya akan selalu mengikuti kita kemanapun kita pergi…

  • Mbah Jiwo berkata:

    semangat sekali hari senin, ditemani kata2 ndoro..

  • […] This post was mentioned on Twitter by Ndoro Kakung, Ndoro Kakung. Ndoro Kakung said: tentang etika dan dilema seorang lelaki http://bit.ly/4L8i3j […]

  • abu salam berkata:

    sekedar ungkapan enak diomgongin ga enak dijalanin ndoro, mungkin kita perlu sosok yang orang-orang yang tegas dan teguh memegang prinsip sehingga dalam kehidupan anak-anak kita pun terbiasa untuk selalu on the right track, bukan basa-basi belaka.

  • DV berkata:

    Ughh.. kupikir ini cerita perandaian dari kasus Bank Century soalnya ada ikan BASSnya ada sosok bapak dan anaknya dan ada ikan besar-besarnya..:) (atau ojo ojo iyo:p)

    Soal kejujuran dan etika, di sini juga ada warung chips dan choco yang kita bebas boleh mengambil setelah memasukkan koin senilai 2.20 dollar. Waktu awal2 beli, aku sering tergoda untuk tak memasukkan uang sebesar itu untuk mengambil sekantong chips, tapi lama-kelamaan akhirnya tertata juga, kalau memang nggak punya uang 2.20 ya nggak ambil, demikian pula sebaliknya 🙂

  • jokostt berkata:

    Etika, kalau orang Jawa bilang Unggah-ungguh. Walah, berbicara ini makin banyak aja orang-orang yang kurang berEtika di negeri ini. Semoga kita bukan termasuk orang yang seperti ini ya, Ndoro?

    Happy Monday!

  • menor berkata:

    aduh Ndor, baru hari senin aja saya sudah melanggar etika. Datang kerja jam 9.30. Hihi….

  • dnial berkata:

    Misalnya di perempatan ketika lampu merah menyala di dinihari, apakah sampean akan menerobos?

    Wah.. kalau aku ya terobos aja, ndoro. Daripada tiba2 dikerumunin kapak merah. 😀

    Pendapatku: etika itu juga soal prioritas. Survival itu nomor satu, kalau misalnya nuruti etika bisa mati, ya lebih baik tidak dituruti, ya to?

    • dita.gigi berkata:

      etika itu juga soal prioritas. Survival itu nomor satu, kalau misalnya nuruti etika bisa mati, ya lebih baik tidak dituruti, ya to?

      >> like this!

      dari pada nyawa melayang, mending keselamatan nomer satu… kadang mau tidak mau, tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup di alam yang cukup barbar… 😀

  • Ivan Lanin berkata:

    Cerita yang bagus Ndoro. Benar, *mempraktikkannya* yang sulit. Semoga Ndoro bisa tabah ya *eh?

  • mazhel berkata:

    semoga postingannya dibaca oleh para pemimpin negri ini..ndor.. 😀

  • mbakDos berkata:

    masalahnya adalah.. ah, tapi nggak tau sih ini dikategorikan sebagai masalah atau nggak.. yang namanya BENAR dan SALAH itu selalu relatif dan subjektif, apalagi kalo menyangkut soal etika 😉

  • cK berkata:

    bapak saya mungkin masih menganut etika ini. kalau lampu merah gak mau nerobos. padahal udah saya komporin untuk lewat karena jalanan sepi. 😈

  • WILDAN berkata:

    Wh artikel2 anda sungguh menarik. .
    sepertinya aku harus mencontoh anak itu. .
    aku sadar ternyata aku selalu menunda pekerjaan yg ku anggap tak penting. .
    thx.

  • mawi wijna berkata:

    Saya pesepeda Ndoro, tatkala lampu menyala merah kalau saya ikut berhenti malah diklakson. Etikanya seperti apa? Ada yg bilang; pesepeda boleh lakukan apapun asalkan tak menganggu lalu lintas. Kok?

  • MotroMART berkata:

    Jaman dulu, di sekolah memang diberikan pelajaran mengenai Etika. Entah bagaimana sekarang…..

  • Menjalankan apa yang benar menurut kata hati. Wah, andai semua bisa melakukan ini, betapa pasti sudah hebatnya negeri ini, Ndoro.. Hehehehe…

    Saya jadi ingat “tausiyah” pembuka di film Legend of The Fall:

    “Di dunia ini, ada beberapa orang yang mendengar terus-menerus suara dari dalam hatinya. Such people become crazy. Or they become legend…”

    Lalu, kenapa banyak kita nggak bisa ngikuti kata hati? Sebagian karena nafsu. Tapi jauh lebih banyak lagi adalah karena m-a-l-a-s 😀

    Inggih mboten? Inggih mboten? :))

  • padmanegara berkata:

    ketika dosen Ethics saya memberikan soal Ujian beliau menuliskannya di papan tulis, kemudian dia pergi dan berpesan:

    “kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kalian, dan sesuai ilmu etika yang kalian dapatkan, kalau ternyata ada yang bekerja sama dan menyontek, berarti saya gagal sebagai dosen, tapi kalau tidak ada yang mencontek dan bekerja masing2 sesuai kemampuannya, berarti kalian yang sukses dan siap menjadi seorang manusia yang sebenarnya”

    *sebagai seorang mahasiswa yang nakal dulu.. saya insyaf pada saat itu*

  • Hambyah berkata:

    nunut blogwalking aja, jgn lupa visit n comment blog saya di

  • iaksz berkata:

    lagi lagi Stephen Covey ……. itu biangnya motivator tulis … kapan di Indonesia ada orang kayak

    dia … wah, tapi gue ndak bakal mau nunggu lampu merah jadi hijau waktu jalanan lagi sepi .. kan

    ngabisin waktu …

    Lha ikan bass itu .. enak gak sih ?????? Gue ndak pernah liat segede apaan ikan bass ituh 😀 😀 😀

  • eko magelang berkata:

    bikin ku merenung !!! apakah etika seperti itu akan bertahan jika ternyata dia melihat banyak dan terus menerus kesalahan dihadapan mata nya ?

  • lekdjie berkata:

    Semoga cerminku blum pecah…
    Mari kita bercermin dulu,dab..
    😀 😀 😀

  • Iksa berkata:

    Semua perlu ada etikanya …. dan memang harus sejak dini ditanamkan ..

  • RaRa Wulan berkata:

    saya suka cerita ini, cerita ini sangat menjunjung tinggi etika. Seharusnya setiap manusia mempunyai etika kan, tapi di Indonesia sudah banyak yang nggak mempunyai etika sama sekali, maunya seenaknya sendiri iah tapi beginilah Indonesia, Indonesia sedang dilanda krisis etika, Semoga krisis etika di Indonesia segera hilang Amien 🙂
    Thankyu dan sukses slalu Ndoro 😛

  • Fatma-snow berkata:

    Saya juga suka sama stefen covey. . .so great. . .7 habits and behave.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Etika Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: