Murung Pecas Ndahe
Desember 15, 2008 § 27 Komentar
Mereka datang dari pertikaian berpuluh musim yang lampau. Tubuh-tubuh yang renta dari negeri air mata.
Matahari, juga rematik, wazir, dan encok, mengeremus tubuh mereka. Keriput telah mengentara di kulit mereka.
Mereka berjumpa di sebuah tempat pegadaian jiwa. Jiwa-jiwa yang terluka kemudian bersekutu dengan sepi.
Sepi telah meranggaskan mereka di ujung senja. Senja menelan waktu. Satu demi satu, seperti puisi murung T.S. Eliot. « Read the rest of this entry »
Naga Pecas Ndahe
Desember 11, 2008 § 56 Komentar
Pada sebuah siang yang meradang, lelaki naga berbulu merak berangkat ke timur. Ia hendak menantang matahari dengan segerobak pertanyaan. Tentang cinta, hidup, perempuan, dan hati yang remuk berjebai.
“Untuk apa kau datang kepadaku, lelaki?” matahari bertanya seraya meredupkan sinarnya.
“Aku ingin menjadi seperti dirimu. Memberi tak mengharap kembali. Engkau bersinar sepanjang hari, memberi napas dan kehidupan bagi penghuni bumi, tapi tak pernah berharap imbalan. Begitu ikhlas. Bagaimana kau bisa begitu?” tanya lelaki naga berbulu merak.
Matahari tersenyum, lalu bertanya, “Kenapa engkau hendak menjadi seperti diriku. Memberi tak meminta kembali?”
Lelaki naga berbulu merak terdiam. Ia tak segera menjawab. Ingatannya melayang pada perempuan bermafela kelabu yang menjerat kalbu. Lelaki dan perempuan itu berjumpa di awal musim semi. Pertemuan mereka laksana sebuah upacara — seperti ketika malam meminang rembulan. Udara wangi setanggi. « Read the rest of this entry »
Alegori Pecas Ndahe
Desember 8, 2008 § 50 Komentar
Pada senja yang muram, perempuan bermafela kelabu itu datang. Hujan baru saja lesap bersama matahari di barat. Rembulan dan bintang sebentar lagi datang. Senja sedang termangu di tepi cakrawala – singgasananya yang nirmala.
Perempuan mafela kelabu itu melangkah gaduh. Kakinya dihiasi giring-giring yang selalu berdering setiap kali melangkah. Parasnya rusuh. Tubuhnya kuyup oleh rindu yang kian membeku.
“Duhai Senja sahabatku, aku datang hendak mencuri waktu dan kesediaanmu mendengar,” perempuan bermafela kelabu itu meminta.
“Ada apa? Angin apa yang mengantarmu ke sini?” Senja bertanya dengan suara baritonnya.
“Aku menunggang badai,” jawab perempuan mafela kelabu itu.
Bibirnya kelu. Dadanya mendadak bergemuruh dipicu resah. Ia merasa tak nyaman. « Read the rest of this entry »
Pisah Pecas Ndahe
Desember 1, 2008 § 40 Komentar
Apa kabar November? Semoga kau baik-baik saja pagi ini setelah Desember datang. Selamat jalan hujan, langit kelabu, daun-daun yang robek, dan hati yang remuk oleh perpisahan.
Sudah berbelas senja lewat sejak terakhir kita bertemu, sebelum kau terbang bersama kenangan. Aku masih ingat kau berdiri di bawah mendung dan hujan yang nyaris jatuh. Parasmu telaga. Sosokmu rimba pesona … seperti senandung RSD, Satu Bintang di Langit Kelam.
Kau datang dengan sederhana..
Satu bintang di langit kelam
Sinarmu rimba pesona dan kutahu telah tersesat …
Dulu aku memang sempat tersesat bagaikan perahu kecil yang mengapung pelan di selatan — menanti cemas. Dan seiring waktu berlalu, aku jadi kertas putih yang mulai menguning diterjang debu. « Read the rest of this entry »
Petrus Pecas Ndahe
November 11, 2008 § 23 Komentar
Dia lahir di fyord yang dingin di sebuah dataran tinggi, di bawah bayang-bayang gunung yang gersang. Tapi ia tak hidup di dunia nyata. Ia bernapas dan berjalan di negeri dongeng … sebagai perempuan salju.
Di cuaca pegunungan yang tak begitu melimpah sinar suryanya, dia tampil bagaikan bidadari yang datang ke bumi untuk mengubah arah sejarah, setelah mengubah hati.
Bahasanya mata pisau yang tajam. “Bila kusentuh mataku, keduanya pun meledak dalam cahaya, dalam curahan kilauan yang putih.”
Perempuan salju selalu merindukan udara gunung, sinar surya, embun, dan harum pinus yang pernah menjadi bagian kehidupannya di masa lalu.
Adakah kenangan yang tersisa dari masa lalunya? Tidak. Kecuali seorang lelaki pengembara yang menunggang angin.
Lelaki itu pernah berjumpa dengan perempuan salju di lembah hijau pinus. Mereka bahkan sempat bercengkerama dalam buaian angin yang mendesah, di bawah rimbun pepohonan. « Read the rest of this entry »