Kelabu Pecas Ndahe

Januari 12, 2009 § 49 Komentar

Pagi ini, hujan tumpah di sana-sini. Langit abu-abu. Jalanan macet. Ah, Senin kelabu.

Begitu membuka koran pagi dan majalah, ternyata warnanya sama saja — juga muram. Sebuah kapal motor tenggelam di perairan Majene, Sulawesi Barat. Lebih dari 250 penumpangnya belum ditemukan.

Dua tahun yang lalu, di lokasi kecelakaan kapal motor itu jugalah, pesawat Adam Air tertimpa nahas dan tenggelam. Ratusan penumpangnya juga hilang, terkubur di dasar laut.

Begitu membaca halaman berikutnya, terpampang kabar bencana banjir di sejumlah daerah. Di Majene dan Polewali, Sulawesi Barat, banjir menelan korban sepuluh orang meninggal. Banjir juga mengakibatkan sebuah jembatan ambruk dan memutuskan akses Trans-Sulawesi yang menghubungkan Sulawesi Barat dan Selatan. « Read the rest of this entry »

Palestina Pecas Ndahe

Januari 3, 2009 § 78 Komentar

Kita melihat horor itu di televisi, juga di YouTube. Jet-jet tempur Israel membombardir Jalur Gaza. Rudal-rudal menggempur wilayah Palestina. Rumah-rumah yang remuk dan sedikitnya 400 ratus warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, dijemput maut.

Paklik Isnogud berulang kali menonton adegan maut itu di layar monitor dengan paras yang muram. Saya lihat ada kristal bening di matanya yang teduh. Dari jauh saya cuma bisa memandangnya dalam bisu. Saya tak berani mendekat dan mengajaknya bicara, sampai kemudian Paklik melihat dan melambaikan tangan, meminta saya mendekat.

“Menyedihkan ya, Mas,” kata Paklik begitu saya duduk di sebelahnya. Saya cuma mengangguk pelan. « Read the rest of this entry »

Gantyo Pecas Ndahe

November 26, 2008 § 66 Komentar

Panggung kehidupan ternyata bukan hanya menjanjikan kejutan di setiap tikungan. Setiap lakon kehidupan juga memunculkan para pemainnya. Ada pahlawan dan pecundang, ada si miskin dan si kaya, ada penolong dan penikam dari belakang, ada Tom Sawyer dan Brutus, teman dan musuh, juga para pengeluh dan penginspirasi, dan seterusnya.

write now

Seorang kawan lama, ya dia seorang blogger, mengingatkan saya kembali soal itu melalui tulisan-tulisannya yang sangat menggugah di blog WriteNow.

Dia Gantyo Koespradono, jurnalis senior di grup Media Indonesia. Saya beruntung pernah mengenalnya di pabrik yang sama pada sebuah masa. « Read the rest of this entry »

Gamang Pecas Ndahe

November 5, 2008 § 32 Komentar

Hujan membasuh malam yang penat oleh resah. Ranting luluh. Daun-daun kering merintih nyaring ditikam kristal-kristal bening. Rembulan telah lama hilang bersama bintang-bintang di balik gedung jangkung yang menjilat hamparan langit kelabu di atas Jakarta.

Lelaki pecinta mimpi itu terbangun dengan setengah mata terpejam. Udara yang lengas memompa resah. Bidadari senja tersenyum di sampingnya. Parasnya sempurna bagaikan permadani malam bertabur bintang-bintang berkilauan. Sinarnya matanya berkeredep seperti ratna mutu manikam Sungai Mahakam.

“Aku belum mengenalmu dengan sangat. Siapakah sesungguhnya dirimu? Kau seperti rama-rama dengan sayap retak. Adakah kau pernah kehilangan dan dilanda cinta yang pahit?” bidadari itu bertanya seraya merebahkan kepalanya ke dada lelaki pecinta mimpi.

Lelaki itu tersenyum. Tapi hatinya puspas. Dia seperti terpelanting ke masa silam. Berbelas musim berganti, berpuluh purnama lalu, lelaki itu pernah mendapat pertanyaan yang sama. Tentang diri, cinta yang pahit dan arti kehilangan. Lama ia membiarkan tanya itu mengapung di udara yang muram.

“Kenapa kau diam? Apakah pertanyaanku terlalu sulit kau jawab?” bidadari itu mulai kehilangan kesabaran.

Lelaki pecinta mimpi bangkit. Matanya menatap jauh ke jantung gelap malam. Gerimis mempercepat kelam. Ia bersicepat dengan masa silam yang mendadak kembali datang. « Read the rest of this entry »

Teror Pecas Ndahe

November 3, 2008 § 54 Komentar

Bom melahirkan teror. Dan ketakutan pun tak punya persembunyian lagi di abad ke-20.

***

headline koran tempo hari ini

Sarapan bersama Paklik Isnogud pagi ini membuat perasaan saya campur aduk, antara senang dan galau. Senang karena setelah berpekan-pekan tak bersua dengannya, akhirnya saya bisa menghabiskan waktu berdua lagi dengan Paklik di meja makan.

Tapi kami juga terpaksa menelan galau karena setiap suap nasi yang disendok berlauk berita-berita pagi yang muram.

“Lihat saja headline koran ini, Mas,” kata Paklik sambil memperlihatkan sampul depan sebuah koran yang memajang wajah Amrozi, Muklas, dan Imam Samudera — trio bomber Bali itu.

Saya tersenyum kecut. « Read the rest of this entry »

Where Am I?

You are currently browsing entries tagged with tragedi at Ndoro Kakung.