Teror Pecas Ndahe

November 3, 2008 § 54 Komentar

Bom melahirkan teror. Dan ketakutan pun tak punya persembunyian lagi di abad ke-20.

***

headline koran tempo hari ini

Sarapan bersama Paklik Isnogud pagi ini membuat perasaan saya campur aduk, antara senang dan galau. Senang karena setelah berpekan-pekan tak bersua dengannya, akhirnya saya bisa menghabiskan waktu berdua lagi dengan Paklik di meja makan.

Tapi kami juga terpaksa menelan galau karena setiap suap nasi yang disendok berlauk berita-berita pagi yang muram.

“Lihat saja headline koran ini, Mas,” kata Paklik sambil memperlihatkan sampul depan sebuah koran yang memajang wajah Amrozi, Muklas, dan Imam Samudera — trio bomber Bali itu.

Saya tersenyum kecut.

Kita tahu bahwa tiga terpidana itu akan dieksekusi dalam waktu dekat. Mungkin hari ini, barangkali besok atau lusa. Sebelum dieksekusi, mereka sempat menebar ancaman. Teror. “Jika ada yang membunuh kami, Insya Allah akan ada pembalasan … ” kata Imam Samudera.

“Ceritakan tentang teror, Paklik,” saya meminta.

“Teror lahir setelah zaman berubah dengan cepat, dengan ganas, sedih. Di Hiroshima, sesuatu yang mengerikan, total dan tak memilih-milih, telah dijatuhkan; kota itu pun luluh lantak 63 tahun yang lalu, lengkap dengan bayi-bayinya. Selanjutnya adalah teror. Ketakutan tak punya persembunyian lagi di abad ke-20.

Ada sekali masanya kita mengenal sebuah tirai, mungkin juga teori yang memisahkan kekerasan yang “adil” dan kekerasan yang “tak adil”. Namun, tirai itu pun kini jebol. Tiap pembunuhan bahkan yang sewenang-wenang, seakan pandai menemukan alasan yang beradab.

Tiap kesewenang-wenangan punya dalih, kadang-kadang filsafat. kadang-kadang ideologi atau sekadar statistik. Rasa malu telah kita simpan, jauh-jauh, di kolong yang kelam. Kita hidup dengan wajah suram Stepan Fedorov.”

“Siapa dia?”

“Stepan ialah tokoh yang diciptakan Albert Camus dalam lakon termasyhurnya tentang teroris Rusia awal abad ini, Les Justes.

Sandiwara itu pernah diterjemahkan dan dipentaskan di Indonesia beberapa belas tahun yang lalu, lantas dilupakan. Ia memang cerita pentas yang tak mengesankan. Tapi saya kira kita kini lebih baik mengingatnya kembali. Setidaknya, kita mengingat Stepan.

Stepan adalah sebuah ide yang berkata dengan yakin tentang teror sebagai teror — bukan sekadar sebuah gaya lain. Ia seorang radikal. Dengan kata lain, tak ada basa-basi.

“Kita ini para pembunuh, dan kita telah memilih untuk jadi demikian,” katanya kepada teman-temannya seperjuangan. Itulah sebabnya terorisme bukan permainan untuk mereka yang masih repot dengan perasaan moral serta hati nuram. La terreur ne convient pas aux delirats, titik.

Maka, orang macam Stepan tak akan bergeming buat melemparkan bom ke tubuh anak-anak sekalipun, asal sang Hertog Agung yang menguasai Rusia bisa ia enyahkan.

“Ya, saya memang brutal,” katanya, mengakui. “Tapi bagi saya, rasa benci bukanlah sebuah mainan. Kita di sana bukan untuk mengagumi diri. Kita di sana untuk berhasil.”

“Saya kira Mas, hingga hari ini pun ada Stepan-Stepan lain yang terus hidup di sekitar kita. Mereka memamerkan tertawanya yang suram dengan tepuk tangan di kanan kiri.

“Penghancuran,” kata Stepan, “adalah sesuatu yang tak ada batas. Dan ketakutan tak punya lagi tempat bersembunyi … “

Setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya itu, wajah Paklik terlihat lesi. Matanya memandang ke jendela. Gerimis jatuh kepagian. Bau harum tanah basah menyergap ruangan. Sepi.

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Kita boleh takut, tapi jangan sampai takluk.

Tagged: , , , , , , , , ,

§ 54 Responses to Teror Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Teror Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: