Berlian Pecas Ndahe
Juli 16, 2007 § 28 Komentar
Hujan mengamuk. Sesekali garis kilat menyambar dan memecahkan tirai hujan menjadi air terjun berlian yang berkilauan. Matahari bersembunyi di pojok kegelapan …
Hawa dingin pagi hari yang tak tertahankan membuat saya mandi cepat-cepat. Lagi pula saya harus segera menyelesaikan pekerjaan yang tinggal beberapa bagian lagi. Sebentar lagi para bos datang dan menagih semuanya. Bisa gawat urusannya kalau saya melanggar waktu yang sudah mereka tetapkan.
Hampir tengah hari ketika saya membubuhkan titik terakhir sebagai penutup pekerjaan. Tinggal kirim via jaringan. Beres. Saya melirik jam di dinding. Hm, waktunya makan. Tapi, makan apa yang enak buat siang-siang yang mendung begini?
Mendadak telepon di meja berdering berbarengan saat saya hendak angkat pantat dari kursi.
Siapa, sih? Bos? Ada tugas yang terlewat?
“Halo …” saya jawab telepon dengan waswas.
“Siang, Mas. Ini Diajeng. Kita bertemu tadi pagi di depan pintu kamar mandi. Masih ingat, kan?”
Diajeng? Busyet. Bidadari cantik itu?
“Wah … ya tentu saja masing ingat dong, Jeng. Ada apa?”
“Ah, enggak … Sibuk?”
“Nggak juga. Baru aja selesai. Sekarang mau makan dulu. Kamu sudah makan?”
“Kebetulan dong. Aku juga belum makan. Bareng yuk, Mas!” ajaknya ringan.
“Boleh. Kita ketemu di lobi ya.”
“Sip.”
Ada apa tiba-tiba Diajeng menelepon? Bukankah baru tadi kami berkenalan dengan cara yang aneh? Ah, saya tak mau berandai-andai, apalagi bersyakwasangka. Mungkin saja dia cuma mengenal saya di pabrik ini. Dia toh karyawan magang. Apa salahnya?
Ketika bertemu di lobi itulah saya baru sempat memperhatikan lebih dekat dan detail seperti apa sosok Diajeng. Hm, lebih segar ketimbang tadi pagi. Rambutnya yang hitam dan panjang dibiarkannya lepas terurai.
Berbeda dari umumnya buruh di pabrik saya, ia memakai setelan yang serasi. Celana jins tiga perempat biru tua dan blus kembang-kembang biru muda. Sepatu ketsnya biru pula. Sportif sekali. Saya sempat menangkap wangi parfum Bvlgari yang menguar ketika dia membalikkan badannya.
Dengan penampilan seperti itu, Diajeng seperti berlian di antara kerikil para buruh di pabrik saya.
Saya mengajak Diajeng makan di kedai dekat pabrik. Itu tempat makan yang nyaris tak pernah dikunjungi lagi oleh para buruh. “Bosan,” kata mereka. “Menunya itu-itu melulu.”
Sebaliknya, saya memang jarang makan di sana. Pekerjaan membuat saya lebih sering makan jauh dari pabrik. Lagi pula, masakan si empunya kedai cocok di lidah saya. Rasa masakan rumah.
“Sering makan di sini, Mas?” tanya Diajeng setelah kami duduk di dekat jendela.
“Jarang, Jeng. Saya lebih sering di luar pabrik. Cuma akhir pekan seperti sekarang saja saya biasa makan di sini.”
“Aku juga baru sekali kok, Mas. Kemarin-kemarin aku makan di tempat lain.”
“Loh, memangnya kamu sudah berapa lama kerja di sini?”
“Hampir sebulan.”
“Sebulan? Kok saya baru lihat hari ini?”
“Ah, Masnya sibuk terus sih. Mas nggak pernah merhatiin aku pula,” katanya sambil nyengir lucu. “Padahal aku sudah sering lihat Mas loh. Mas sering tidur di sofa merah lantai dua itu kan?”
Kali ini saya yang gantian nyengir.
“Kok sering tidur di pabrik sih, Mas? Rumah Mas jauh?”
“Nggak juga, Jeng. Masalahnya, pada malam-malam menjelang akhir minggu saya memang terpaksa menginap karena pekerjaan yang ndak bisa ditinggal.”
“Wah, kasihan yang ditinggal di rumah dong,” candanya sambil melirik cincin di jari manis kanan saya.
“Yah, risiko pekerjaan, Jeng.”
“Istrimu pasti orang yang sabar ya, Mas?’
“Karena itu saya memilihnya, Jeng.”
“Mosok Mbakyu nggak pernah protes karena Mas sering tidur di pabrik?”
“Awalnya iya. Lama-lama jadi terbiasa dan ndak protes lagi.”
“Ah, kalau aku punya suami kayak kamu Mas, pasti kularang menginap di pabrik. Nggak sehat kan, Mas?”
“Hehehe … Untung aku bukan suamimu.”
“Huuuu … “ dia mencibir. “Anak-anakmu nggak nyari bapaknya, Mas?”
“Saya kan ndak setiap hari tidur di pabrik, Jeng. Lagi pula saya selalu menyediakan waktu dua hari penuh buat anak-anak waktu libur akhir pekan kok. Saya berusaha jadi bapak yang baik buat mereka.”
“I see … Anakmu berapa sih, Mas?”
Olala, rupanya saya sedang diinterogasi.
“Dua. Eh, kamu kok bisa nyasar ke pabrik ini sih? Gimana ceritanya?” tanya saya mengalihkan pembicaraan.
“Wah … panjang, Mas.”
“Saya punya waktu seharian kok untuk mendengarkan.”
Ia tersenyum. “Ah, si Mas bisa aja … “
Diajeng lalu bercerita bahwa dia baru saja lulus kuliah. Ia mengambil program master di bidang desain dari sebuah universitas luar negeri. Sebetulnya ia bisa saja langsung bekerja di perusahaan teman papinya.
“Tapi, aku mau nyari pengalaman dulu di tempat lain. Kebetulan aku punya teman yang bercerita ada lowongan buat karyawan magang di pabrik kamu. Jadilah aku ke sini dan bertemu kamu, Mas.”
“Oh, gitu. Terus kenapa tadi menelepon saya dan mengajak makan, Jeng?”
“Idih curiga ya? Memangnya saya ndak boleh ngajak makan Mas? Ada yang marah?”
“Bukan, bukan … Jangan salah sangka. Saya cuma merasa aneh saja,” jawab saya sedikit tak enak.
“Habisnya, teman-temanmu sibuk sendiri-sendiri sih. Sudah hampir sebulan aku di pabrikmu tapi nggak ada yang punya waktu buat ngobrol. Padahal kan aku mesti tanya ini itu. Aku pengen tahu banyak soal proses kerja di pabrikmu. Kebetulan kita ketemu tadi pagi. Aku terus mikir, siapa tahu Mas bisa jadi tempat aku bertanya.”
“Oh, maaf. Maafkan juga teman-temanku. Mereka memang jarang punya waktu buat ngobrol, meskipun hanya sebentar. Maklum kerja di pabrik. Okelah, kamu bisa bertanya apa saja ke saya. Moga-moga saya bisa bantu.”
“Nah, gitu dong. Makasih sebelumnya ya, Mas,” katanya sambil tersenyum lebar memamerkan sebaris giginya yang putih, bersih, terawat, dan teratur.
Begitulah. Makan siang itu sebuah awal. Pada siang-siang berikutnya kami sering makan berdua. Kalau tak di kedai yang sama, ya di tempat makan yang agak jauh dari pabrik. Kalau kebetulan saya di luar pabrik, Diajeng sering meminta bertemu di tempat yang kebetulan dekat dengan posisi terakhir saya. Pokoknya asal bisa makan bareng.
Hazara Cafe di Kebon Sirih, Kafe Cemara di Jalan Cemara, Menteng, atau Penang Bistro di Kebayoran Baru, sekadar menyebut contoh kedai yang rutin kami datangi. Kalau malam, kami sering makan di Muara Karang atau Pecenongan. Diajeng memang tergila-gila sea food dan chinese food. Karena tergolong aphrodisiac? Saya ndak peduli. Soalnya bukan makanannya benar yang dia nikmati.
“Terus terang, aku suka ngobrol dengan kamu, Mas. Kamu juga membuatku nyaman. Being with you is so relaxing. Indeed,” begitu alasannya.
“Saya juga menikmati obrolan kamu kok, Jeng. Kamu pintar,” jawab saya jujur.
“Ah, gombal. Kamu tuh yang pintar, Mas. Diajak ngobrol apa aja pasti nyambung.”
Tapi, kadang-kadang saya jadi merasa terganggu karena harus sering-sering makan siang atau sekadar menemaninya ngobrol di waktu jeda. Saya merasa terikat. Padahal saya masih harus beredar di tempat lain. Tapi, saya tak kuasa menolak permintaannya. Atau lebih tepat pesonanya.
Pesonanya memang menyihir saya. Saya seperti kucing yang berubah jadi tikus. Ia bisa menaklukkan alasan apa pun yang saya ajukan sebagai basa-basi untuk menolak ajakannya. Rayuan, bujukan, dan godaan memang salah satu keahliannya. Dan, celakanya lama-lama saya menikmati sihirnya.
Diajeng perempuan yang terbuka. Apa adanya. Gaya bicaranya spontan. Ekspresif. Ia bisa bercerita tentang apa saja. Kalau sedang bercerita, tangannya ikut bergerak-gerak, persis orang main drama. Kadang matanya mendelik, kadang muram, mengikuti apa yang diceritakannya. Belum pernah saya bertemu perempuan sehidup dia.
Gara-gara sering bertemu, ke mana-mana selalu berdua, lama-lama kami jadi dekat. Dan, semakin dekat saja. Tanpa terasa kami seolah menjadi dua orang sahabat lama yang saling membutuhkan, saling berbagi, dan saling mencari kalau salah satu tak ada. Benar juga kata tetua-tetua saya dulu: Witing tresno jalaran kulino.
Sampai suatu ketika, kedekatan kami mulai memicu kasak-kusuk di pabrik. Dan, suatu pagi, para bos memanggil saya …
pertamax
(mungkin…)
kedua x (mungkin juga)
bagus ndoro,awal yg indah u/ sebuah perselingkuhan.tp knapa jd kilas balik?gimana nasib anak istrinya ndoro??pa sejenak dilupakan??
met pagi mawon nggeh ndoro…
Masih nomor tiga ya?
hihihihi….tak kiro wes tamat 😀
iki diajeng versi piro ndoro?? 😀
sempat di tunggu-tunggu, akhirnya muncul lagi lanjutan nya, lanjut layar lebar ndoro
waduh bos kok ikut nimbrung urusan pribadi buruhnya…. 🙂
kuangenn ndorooo…
ada terusannya…. ada terusannya… *dancing dancing*
ada beberapa typo ndoro 😀
akhirnya ada terusan cerita, udah nunggu2 nih
menggetarkan…
hahaha…
keluar juga akhirnya! terpicu ‘punya’ saya tho ndoro?! 😀
akhirnya….nongol juga sambungannya :p
wah flash back…seep. lanjut kang=)
hmmm…dasar bos, ndak bisa liat anak buah seneng…
akhirnya muncul juga yang dinanti..ndoro kembali ke peradaban hehehe
Hmmm… cara Diajeng memulai hubungan, rasanya agak aneh, kayak rasa kurang sreg, kurang nyaman, kurang greget. Se-“gampang” itukah?
witng tresno jalaran ora ono sing liyo ndoro? 😀
mampir mangga, mboten mangga kersa.
Salam kenal ndoro….
witing tresnait jalaran saka kulinait he..he..seneng aku mocone, bisa jadi pelajaran buat istri yang luar biasa.
wekekekk…
dah pulang ke jakarta tho pakdhe..
para bos ??
para: diartika “setengah”; contoh: parabola..
bentuknya kurva, setengah bola..jadi:
para bos berarti setengah bos yang berbetuk kurva, pikirannya sih bos, tapi kelakuan dan mental masih mental kacung bola..
😉
aseeek…:D
witing tresno jalaran soko ngglibet 😀
Gara-gara sering bertemu, ke mana-mana selalu berdua, lama-lama kami jadi dekat. Dan, semakin dekat saja. Tanpa terasa kami seolah menjadi dua orang sahabat lama yang saling membutuhkan, saling berbagi, dan saling mencari kalau salah satu tak ada.
yang begini ini memang biasanya awal dari selingkuh.
coba tengok
nyuwun sewu, ndoro ketinggalan linknya:
http://jamugendong.wordpress.com/2005/10/20/selingkuh/
Sedang cari investasi jangka pendek yang menguntungkan? Citra Maja Raya merupakan perumahan di Maja Banten yang menjual rumah murah, hanya ratusan juta, dan harganya hanya akan terus naik dengan kecepatan yang tinggi