Kenyataan Pecas Ndahe
Juni 30, 2008 § 29 Komentar
Apalagi yang kau cari kawan? Pertandingan usai sudah. Tak ada lagi umpan-umpan matang di depan gawang. Tendangan salto. Sistem 4-3-3. Pertahanan gerendel. Peluh. Ganjalan. Gol. Penalti. Kartu merah. Hasrat reda, gairah jadi kuyu, seperti umbul-umbul yang kena hujan.
Orang pulang dan berhitung, tentang ongkos beli karcis dan beli obat antiserak. Akuntansi, perhitungan utang dan piutang — dan kecemasan untuk tidak kebagian tempat dalam hidup — kembali mengambil peran.
Hidup jalan terus, dengan pesona dan keberengsekannya. Kita bertemu kembali dengan lawan dan kawan-kawan lama. Kita hadapi lagi urusan lama dan baru, seperti dulu. Yah, masih yang itu-itu juga.
Mari kembali ke pojokan kedai kecil, tempat kita biasa minum secangkir teh tarik. Kau tentu masih ingat kedai itu bukan?
Tempat itu masih lengang tampaknya ketika kulalui tadi. Tapi, agak di bagian dalam ada sepasang anak muda merayakan sebuah pernikahan. Mereka menari dengan lagu pada akordeon. Pengantin dusun yang riang.
“Apakah jadinya hidup ini jika kegembiraan kecil seperti itu hilang, jika kafe kecil ini berubah jadi restoran besar, jika desa ini berubah jadi Paris atau New York?”
Aku sempat memandangi pasangan-pasangan itu, yang menari, dengan gelas anggur di tangan, dan dengan ketawa dan nyanyi yang mulai terhuyung-huyung.
“Kita beruntung tinggal di Indonesia. Orang masih bisa menghibur diri, menyanyi dan menari, dan tak cuma menunggu acara musik televisi. Kau tentu menyukai dusun-dusun di khatulistiwa itu, bukan? Mungkin lebih nyaman dari tempat mana pun di dunia ini.”
Sebentar, kau ingat-ingatlah dulu dusun-dusun yang pernah kau kenal. Di sana memang ada kegembiraan, juga pengantin, meskipun tanpa tarian dan anggur. Di sana ada kedai, juga orang menembang atau bermain gamelan. Tapi di sana ada kemiskinan. Dan kepadatan.
“Di Dunia Ketiga orang berseru untuk industrialisasi, modernisasi. Mobil, TV, pabrik, dan entah apa lagi didatangkan. Apa yang sebenarnya hendak didapat? Kebahagiaan?”
Entahlah. Aku lebih suka memungut selembar daun yang jatuh, dan menciumnya. “Harum daun ini adalah sebagian tari surga yang hampir hilang.”
Masalahnya, tak setiap orang sadar tentang arti kehilangan. Apa pula yang dianggap “kesedihan dan kesakitan?” Dan oleh siapa? Oleh mereka yang tak ingin kehilangan surga semula yang lebih tenteram? Atau oleh mereka yang menginginkan surga baru?
Dua sisi itu adalah kenyataan-kenyataan kita, dan dua sisi itu bergolak di tengah kita. Dan pergulatan antara keduanya bukanlah sekadar pergulatan antara keindahan daun dan kemegahan pabrik.
Yang terjadi akhirnya adalah pergulatan yang lebih kasar: pergulatan kepentingan — mungkin kepentingan seorang atau lebih, nun di atas sana yang tak semua kita tahu.
>> Untuk seorang teman yang kehilangan masa lalu. Kenyataan memang bisa sangat pahit, seperti secangkir kopi di Senin sore, Ki Sanak.
Hidup adalah perjuangan tanpa henti henti.
Jadi, mari terus berjuang meskipun Indonesia ga berubah.
*jadi inget kampung halaman
Yang saya cari… harapan. Harapan semoga Jerman menjadi juara di Piala Dunia dan Piala Eropa berikutnya. *masih sedih Jerman kalah*
Mengena, Ndoro… mengena!
Kalau nggak ada pahit mana mungkin ada manis, ya ndak ?
Ya….mak nyessssssssssss…..!!!
“kehilangan hanya ada ketika kita merasa memiliki,” ujar noe letto…
KEDULUAN # 2,
JADI RINDU KAMPUNG HALAMAN.
ughh…ajibb…dalem banget ndoro
Terima kasih Ndoro, saya jadi napak lagi di tanah 🙂
sangat penting untuk tidak melupakan darimana asal usul kita ya ndoro …
*menunggu air matang untuk bikin kopi *
hidup itu dinamis. Jangan sering menoleh ke belakang, cukup masa lalu sebagai pelajaran mawon..
Baru sadar saya ternyata indonesia seindah itu.
;))
Bagiku hidup adalah perjuangan .. Mari Berjuang (lho nyambung gk yo ? )
setelah kita bangun dari mimpi, kenyataan pahitlah yang kita hadapi, pertanyaannya adalah sampai kapan kita bermimpi? dan sampai kapan kita bisa mewujudkan mimpi indah itu?
jadi inget berenang di sungai..manjat2 pohon mangga..naek kerbau..the lost memory of an innocent child
semoga malam ini bisa memimpikan masa kecil yang indah itu..
menangislah bila harus menangis, karena kita semua manusia… (lirik dewa)
mari tetap perjuangkan bangsa ini!!!
pemilu bentar lagi tiba…… (gak nyambung)
saya ga pernah mmerasa kehilangan masa lalu,..
atau
tidak mau tepatnya..
sebisa mungkin di repro dalam imaji2 baru. Karena dari sana lahir kesadaran untuk tetap berdiri tegak di tengah-tengah…
besok jumat, tanggal 4 di Jogja bakal ada pentas Living Fossil. Dengan sebuah ‘kemauan’ seseorang bisa mengembalikan masa lalu yang sudah terkubur menjadi fosil ingatan, lalu membawanya ke masa kini.
ayo ndoro, kalo berani ke jogja sini!
sayangnya kebahagiaan tidak bisa dibeli oleh yang kaya gitu ndoro.
Surga baru? Huh, itu cuma ilusi, yang hanya menghasilkan tingkat kriminalitas yang tinggi, polusi, pemanasan global. Sampai di suatu titik manusia akan merindukan surga lama mereka, surga dalam arti yang sesungguhnya.
Kita harus bangkit !
“sampai kapan mimpi-mimpi itu kita beli..
sampai nanti, sampai habis terjual harga diri..”
by : Iwan Fals – Mimpi yang terbeli
good posting
[…] Ndoro Kakung si bloger tua Bergaya bagaikan anak muda Austin Power jadi idola Rambut kribo hiasi kepalanya […]
argh euro sudah habis!! saatnya kembali beraktifitas normal
putik, filosofis……mendadak pgn kuliah privat soal filosofi hidup….
duh bingung bacanya 😦