Peran Pecas Ndahe

Juli 7, 2008 § 38 Komentar

badutTingkah laku para tokoh publik makin lama kian lucu dan menggemaskan. Ada yang suka disuap, berubah jadi calo perkara, hobinya melepas syahwat dengan sekretarisnya, dan sebagainya.

Di tempat lain, ada yang sibuk menunggangi. Ada pula yang sering menyalakan kompor, bakar ini dan itu, seraya menggalang angket. Bahkan ada juga yang sukanya lempar tangan sembunyi batu, berteriak semprul bin sontoloyo.

Mereka bukan hanya membikin kita merasa geli, melainkan juga menyodorkan satire paling pahit. Kalau sudah begini, ada kemungkinan mereka akan berebut lahan rejeki dengan para pelawak sejati.

Benarkah tokoh-tokoh itu sudah berubah peran jadi badut? Apa sih bedanya antara joker, clown, dan comedian?

Paklik Isnogud yang tengah menimang-nimang cangkir kopi di tangan hanya tersenyum ketika saya menanyakan perihal itu.

“Meski ada beda sedikit perbedaan arti dan makna, mereka punya fungsi dan peran yang sama di masyarakat,” jawab Paklik.

“Apa peran mereka, Paklik?”

Paklik tak segera menjawab. Mula-mula ia menarik kursi, duduk, lalu menyilangkan kaki sebelum berujar. Saya membuka telinga lebar-lebar, menanti ujarannya yang kerap membuat saya terkesima.

“Jadi begini, Mas,” Paklik membuka kalimatnya.

Sebelum berkembang seperti sekarang, saya menduga badut dan pantun jenakanya itu tak sekadar lelucon. Mungkin mereka media untuk perasaan tak senang. Khususnya, ini terjadi di masyarakat Jawa di masa silam, ketika tak banyak jalan bagi rakyat kecil untuk mengeluh tentang keadaan.

Setidaknya, begitulah yang dilukiskan oleh Soemarsaid Moertono dalam risalahnya yang terkenal, State and Statecraft in Old Java, seperti yang dikutip juragan sampean di pabrik itu.

Dalam studinya tentang Kerajaan Mataram dari abad ke-16 sampai ke-19, Soemarsaid menyinggung bagaimana humor rakyat bisa jadi petunjuk “perasaan tidak senang” masyarakat.

Di lingkungan yang tampaknya membisu karena takut bicara itu, kata-kata tajam tapi padat bisa di gubah. Pantun dan sajak bisa jadi sejenis nyanyian jalanan, yang diteriakkan berbalas-balasan.

Pantun pantun jenaka itu, kata Soemarsaid Moertono, “kadang-kadang tidak begitu jelas artinya”, tapi “menyatakan apa yang merupakan ke pentingan rakyat biasa ketika itu”.

Mungkin karena itulah dalam masyarakat Jawa “badut dan pelawak secara tradisional mempunyai kekebalan tertentu terhadap hukum”.

Kejenakaan dan, kadang-kadang, ucapan pedas mereka, mengenai suatu situasi yang berlaku, dibiarkan. Dua tokoh dalam arak-arakan Grebeg yang dibuat oleh raja-raja Yogya dan Surakarta, tokoh cantang balung, berpakaian aneh dan bertingkah menggelikan di tengah prosesi yang khidmat.”

pelukan mbilung

pelukan mbilung

“Tokoh pewayangan seperti togog atau mbilung yang fotonya diambil Gage secara candid tengah berpose memeluk mesra patung pun pasti hanyalah sebuah kejenakaan belaka ya, Paklik?” saya menyela.

Orang akan membiarkannya dan mustahil meledeknya dengan bilang, ‘Oh sekarang dia berselingkuh dengan patung.’

Barangkali juga dia cuma hendak meniru adegan film Naga Bonar Jadi 2, yang ada tokohnya sedang mengadukan nasib pada patung pahlawan.

Toh patung itu pasti tak akan protes hanya karena merasa privasinya terganggu. Kalau patung bisa protes, yang memeluk pasti ngacir terkencing-kencing.”

“Mungkin juga begitu, Mas,” Paklik melanjutkan. “Tampaknya, suatu masyarakat yang beku mau tak mau mencoba mendapatkan celah untuk mengalirkan perasaan yang tersimpan. Mungkin, sadar atau tak sadar, para penguasa sendiri membutuhkan hal yang sedemikian.

“Tiap orang membutuhkan obatnya sendiri,” kata Raja Henry VIII yang kemudian termasyhur sebagai pemenggal para permaisuri, ketika ia mendengar seorang pengkhotbah yang mengkritiknya keras.

Tapi ada perbedaan yang jelas antara lelucon-lelucon di dataran maya yang dibiarkan dan sindiran tersembunyi di jalanan.

Harus dikatakan bahwa satire, parodi, ejek-ejekan kepada penguasa bukan cuma terjadi di negeri-negeri sosialis atau yang berlandaskan Pancasila.

Bedanya ialah bahwa di negeri-negeri tanpa kebebasan ekspresi, ada perbedaan besar antara apa yang dikemukakan secara terbuka dan apa yang diungkapkan secara berbisik-bisik.

Ada bahasa dan percakapan ganda. Ada pura-pura dan siasat. Orang mengerjakan dan membicarakan satu hal, misalnya asmara malu-malu[in] di tengah pasar, tapi — di ruang tertutup — mengetawakan hal itu.

Tapi, biarlah orang-orang mengambil peran masing-masing. Toh hidup ini, sebagaimana dikatakan orang, panggung sandiwara. Setiap orang bisa berlaku menjadi apa saja dan memilih peran macam-macam.

Mau jadi badut kek, pelawak kek, politikus kek, orang yang mabuk kepayang kek, sontoloyo kek, blogger kek, itu urusan mereka, bukan urusan saya, Mas.

Yang penting, semua pengambil peran harus menyadari bahwa setiap pilihan membawa konsekuensi. Ndak perlu gusar, dongkol, marah, protes atau justru menye-menye. Berani berbuat, berani menerima tanggung jawab. Oke, Mas?

Saya mengangguk tanda setuju.

>> Selamat hari Senin, Ki Sanak. Hari ini sampean mau berperan sebagai apa?

Tagged: , , , , , , , , , , ,

§ 38 Responses to Peran Pecas Ndahe

Tinggalkan komentar

What’s this?

You are currently reading Peran Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta