Suluk Pecas Ndahe

Januari 16, 2009 § 33 Komentar

Kali ini aku akan bercerita tentang perempuan perajut malam. Dialah perempuan yang bertemu dengan lelaki rudin dari pulau gosong pada sebuah musim gugur. Dari lelaki rudin pulau gosong itulah aku mendapatkan kisahnya.

Konon perempuan perajut malam lahir dari rahim benang dan sepotong kayu. Mimpi dan imajinasi adalah bidan kelahirannya.

Perempuan perajut malam suka mengembara, dari satu bukit ke bukit lainnya. Dari satu lurah, ke lurah berikutnya.

Lelaki dari pulau gosong menggambarkan sosok perempuan itu seperti suluk, puisi yang dinyanyikan dalam pertunjukan wayang. Suluk tidak bercerita apa-apa tapi menggambarkan suatu suasana: murung, senang, perang, damai.

“Dan perempuan itu adalah suluk yang panjang, puisi meditatif yang ditarikan, mengenai kekuasaan dan tubuh manusia, terutama yang diekspresikan oleh perempuan,” kata lelaki dari pulau gosong.

“Kenapa perempuan?” aku bertanya.

“Karena perempuanlah yang sebetulnya lebih lengkap dalam mewujudkan ekspresi tubuh, dia yang hamil, menstruasi, menyusui, Sedang laki-laki tidak.”

Lelaki pulau gosong melanjutkan ceritanya. Apa yang dilakukan perempuan perajut malam menjadi garis bawah tentang peran perempuan. Ia semacam cetak tebal, penegasan, sebuah sikap.

Perempuan perajut malam selalu berada di garda terdepan semua pergulatan. Setiap inci geraknya mengandung pembebasan, penolakan, pemberontakan, kepahitan, “dan salah satu juga ekspresinya adalah yang erotik.”

Yang erotik itu menegaskan tubuh. Tubuh tidak bisa diabaikan. Manusia adalah tubuh, roh dalam tubuh. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Sayang, moralitas yang kita kenal membenci tubuh … dan akibatnya membenci perempuan itu.

Tapi tidak lelaki rudin dari pulau gosong itu. Ia justru sangat mengagumi perempuan perajut malam. Di matanya, perempuan itu imaji berangkai yang menghargai kematian, menghargai tubuh, dan dibebaskan oleh tubuh.

Berkali-kali lelaki rudin dari pulau gosong mencoba mengajak perempuan perajut malam menggelandang dari satu bintang ke bintang lain. Dari satu galaksi, ke galaksi berikutnya. Tapi perempuan perajut malam selalu menampik. Dan lelaki rudin pun hanya beroleh kelam.

Perempuan perajut malam melahirkan misteri yang tak pernah bisa dimengerti lelaki rudin dari pulau gosong. Tentang sikap, pergulatan, dan cinta yang tak pernah berbalas.

“Apakah perempuan perajut malam hanya menganggap diriku seekor pungguk yang rindukan rembulan? Apakah dia memang tak punya cinta?” lelaki rudin dari pulau gosong bertanya-tanya.

Ah, cinta. Aku menduga cinta itu cuma ilusi lelaki rudin belaka. Cinta barangkali memang tak pernah ada, tapi bisa kita rasakan — seperti angin. Kita bisa menikmati setiap hembusannya, tapi tak pernah berhasil menggenggamnya.

>> Selamat hari Jumat, Ki Sanak. Apakah sampean pernah meringkus cinta dalam genggaman?

Tagged: , , , , , ,

§ 33 Responses to Suluk Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Suluk Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: