Aulia Pecas Ndahe

Desember 2, 2008 § 47 Komentar

Penjara adalah tempat di mana waktu berhenti.

Itulah kalimat Andre Malraux dalam salah satu bagian yang muram dari novel La Condition Humaine, menjelang Kyo menelan racun di lantai tahanan kaum revolusioner Tiongkok.

Di penjara, waktu memang berhenti karena masa depan telah diputuskan tak ada. Hukuman bukanlah awal suatu perubahan, atau metamorfosa, dari seorang kriminal jadi seorang warga negara yang baik. Hukuman telah jadi suatu keputusan final, seperti pepatah lama itu, sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak percaya.

Lalu apa gunanya bui? Dan kenapa selama ratusan tahun kegiatan mengurung orang itu diteruskan juga?

Bagi Michel Foucault yang punya pendapat orisinal, tapi ruwet, penjara memang tak dimaksudkan untuk menghilangkan pelanggaran hukum. Penjara adalah untuk membeda-bedakannya, mengklasifikasikannya, dan menyimpan rekaman suatu cara baik dalam niat mengawasi dan menguasai.

Barangkali atas dasar kehendak untuk “membeda-bedakan” itu pulalah, Aulia Pohan mendapatkan bui yang nyaman di markas Brigade Mobil, Kelapa Dua, Jakarta.

Sampean pasti tahu siapa sosok tersangka dalam kasus kucuran dana Bank Indonesia ke para wakil rakyat di Senayan ini. Tapi, apakah sampean tahu bagaimana perlakuan yang diterimanya di rumah tahanan sementara itu?

Majalah edisi Tempo pekan ini melaporkan begini …

Di Kelapa Dua, Aulia menempati kamar berukuran 4 x 4 meter persegi. Untuk ukuran ruang tahanan — apalagi dibandingkan dengan ruang tahanan di Salemba atau Cipinang — jelas ruangan itu jauh lebih mewah.

Ditempati Aulia seorang diri, kamar itu berkeramik putih dan dilengkapi spring bed, serta kamar mandi yang resik. Penghuninya tak perlu khawatir berkeringat atau kegerahan karena kamar dilengkapi dengan penyejuk udara. Jika bosan di kamar, Aulia bisa pergi ke ruang tamu untuk menonton siaran televisi.

Kamar tahanan Aulia itu terletak di Blok B. Bagi para tahanan, blok ini adalah kawasan paling elit. Bukan hanya dalam soal fasilitasnya, melainkan juga para penghuninya. Di blok yang sama, ada mantan duta besar RI untuk Malaysia dan mantan Kapolri Jenderal Rusdiharjo, serta mantan deputi Badan Intelijen Negara, Muchdi Purwoprandjono.

Saya ndak tahu apakah Aulia merasa nyaman dengan segenap fasilitas yang jauh berbeda dari tahanan untuk para maling ayam, copet handphone, dan maling kelas teri lainnya. Kemungkinan besar sih, dia ndak betah. Bagaimanapun, “tempat di mana waktu berhenti itu” tetap bukan ruangan impian semua orang.

Tapi, Aulia mungkin memang perlu sejenak merasakan perlakuan yang berbeda ini. Setelah bertahun-tahun menyesap kenikmatan di puncak kekuasaan, barangkali Aulia memerlukan semacam jeda sejenak, hidup tanpa rasa nikmat.

Siapa tahu, dari sel yang menghalangi kemerdekaan itu ia beroleh permulaan baru. Sebab, bukankah dalam bahasa Arab kuno, Aulia juga bisa berarti, “Sebuah permulaan yang baru”?

>> Selamat hari Selasa, Ki Sanak. Apakah sampean hari ini sudah merasa beruntung menjadi orang merdeka meskipun kantong terus mengempis?

Tagged: , , , , , , , ,

§ 47 Responses to Aulia Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Aulia Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: