PKN Pecas Ndahe
Maret 3, 2009 § 84 Komentar
Kali ini kita ngobrol tentang anak sekolah dan pekerjaan rumahnya. Syahdan ada seorang bocah lelaki dari salah satu kota satelit Jakarta. Dia masih duduk di bangku kelas 3 sebuah sekolah swasta cukup ternama, cabangnya ada di mana-mana.
Pada suatu hari, ibu guru meminta anak itu dan semua murid kelas 3 membuka buku pelajaran PKN atawa Pendidikan Kewarganegaraan. Pagi itu, ibu guru hendak menerangkan materi tentang harga diri. Setelah menerangkan panjang kali lebar, lengkap dengan contoh-contohnya, ibu guru mengambil kesimpulan atas pelajaran itu.
“Jadi harga diri adalah penilaian seseorang terhadap diri orang lain. Orang lain menilai diri kita berdasarkan tingkah laku kita. Paham anak-anak?” tanya ibu guru.
Murid-murid serentak menjawab, “Pahaaaaaaaaaam …”
Ibu guru melanjutkan penjelasannya. “Harga diri seseorang berperan penting dalam pergaulan. Orang yang harga dirinya baik adalah jika orang itu bertingkah laku sesuai norma. Sebaliknya, orang yang harga dirinya tidak baik adalah orang tingkah lakunya tidak sesuai norma. Tahu bedanya anak-anak?”
Anak itu menjawab berbarengan dengan teman-temannya, “Tahuuuuuuuuu …”
“Nah, kalau sudah tahu, sekarang ibu akan memberikan PR untuk kalian. Kalian harus membawa gambar-gambar contoh orang yang harga dirinya tidak baik. Tidak usah banyak-banyak. Satu saja sudah cukup. Besok dikumpulkan ya. Mengerti?” tanya ibu guru.
“Mengertiiiiiiiiiii …” jawab murid-murid. Dan bel tanda pelajaran berakhir pun berdentang. Murid-murid pulang dengan riang.
Sore hari di rumah bocah lelaki itu. Seluruh isi keluarga tengah berkumpul di ruang tamu. Sang ayah membaca koran sambil menyeruput segelas kopi. Ibunya menjahit baju. Bocah lelaki mengerjakan PR. Adiknya bermain-main dengan boneka Barbie.
“Bagaimana sekolahmu hari ini, Nak? Ada PR apa?” sang ayah bertanya kepada anak lelaki itu.
“Biasa, Yah. Kek kemarin juga. Hari ini ibu guru memberi PR PKN,” jawab sang anak tanpa menoleh.
“PKN? Apa itu?” tanya sang ayah. Ia merasa baru kali ini mendengar istilah itu. Dulu waktu dia bersekolah, rasanya tak ada pelajaran dengan nama seperti itu.
“Ah, ayah … ” si anak menggerutu. “Pendidikan kewarganegaraan tauuuuuuu….”
“Oooo … ” sang ayah manggut-manggut, lalu melipat koran yang telah habis dibacanya. “Terus, apa tugasmu untuk besok?”
“Mengumpulkan gambar orang yang harga dirinya tidak baik.”
“Kamu bisa?” tanya sang ayah agak kurang yakin.
“Ah, keciiiil …” jawab si anak.
Sesudah itu hening. Semua anggota keluarga sibuk dengan urusan masing-masing. Fragmen keluarga kecil itu berakhir seperti hari-hari kemarin. Dan sebelum malam berubah menjadi dinihari, seisi rumah pun beranjak ke peraduan.
Di kantor ayah, keesokan hari. Suara telepon genggam menjerit-jerit seperti cacing-cacing kelaparan di perut, mengagetkan sang ayah yang sedang menatap layar komputer. Diambilnya telepon itu dari kantong, diangkatnya, di dekatkan ke mata, lalu dilihatnya identitas si penelepon. Hmmm… sebuah nomor tak dikenal. Tak tersimpan di phonebook.
“Halo, selamat siang … ” dia menyapa ramah si penelepon.
“Selamat siang, Pak. Saya ibu guru anak Bapak,” jawab suara di ujung telepon.
“Oh, eh, err … iya. Apa kabar, Bu? Tumben menelepon. Ada apa ya, Bu? Ada masalah dengan anak saya?” tanya sang ayah sedikit gugup. Jarang-jarang ibu guru menelepon.
“Tenang, Pak,” kata ibu guru seperti menangkap gelagat kegelisahan ayah. “Saya hanya mau bertanya sedikit tentang anak Bapak. Saya ingin tahu apakah dia sering bertanya pada Bapak mengenai pekerjaan sekolahnya? Apakah Bapak selalu membimbing dia ketika mengerjakan PR?”
“Egh, nganu … tidak, eh, iya. Maksudnya saya, anak saya memang selalu bercerita tentang tugas-tugas sekolahnya. Tadi malam saya juga menanyakan PR-nya. Tapi setahu saya dia tak pernah kesulitan sehingga jarang bertanya bagaimana mengerjakan tugas-tugas itu. Jadi saya pun jarang membantu dia. Memangnya ada apa, Bu? Apakah dia salah mengerjakan PR?”
“Begini Pak. Kemarin saya memberi murid-murid saya PR untuk mencari gambar orang yang harga dirinya tidak baik. Kawan-kawannya mengerjakan PR itu sesuai perkiraan saya. Ada yang mengumpulkan foto tukang becak, ada yang memberikan gambar pengemis, tukang sapu jalanan, copet yang tertangkap, dan sebagainya. Cuma anak Bapak yang beda. Saya penasaran, bagaimana bisa dia menyerahkan gambar seperti itu. Aneh sekali.”
“Waduh, memangnya anak saya mengumpulkan gambar apa, Bu?” tanya sang ayah sedikit panik.
“Poster caleg,” jawab ibu guru.
>> Selamat hari Selasa, Ki Sanak. Apakah hari ini sampean yakin masih punya harga diri?
bu guru..apakah ukuran harga diri hanyalah norma? norma yang mana? norma siapa? siapa yang membuat norma?
masalah caleg itu : saya suka *gaya fesbuk* 🙂
ini bukan soal curcol to, Ndoro?
itu anak cerdas ndoro hahaha saya salut dengan anak itu hahaha
heheee….kali ini aq mrenges2 sendiri 😀
bapak baca koran sambil minum kopi, ibu menjahit baju, dan adik main boneka,..
klise ndor! baku amat ky di buku2 SD 😛
padahal tuh anak sekolah di sekolah swasta ternama
mantaps dah anaknya 😀
Kok asik banget ya mikirnya, jangan2 besarnya jadi wartawan? atau jadi Saudagar Kaya? *ra nyambung*
bu guru ne ki ketoke ra dibekali psikologi belajar dan psikologi perkembangan ples psikologi sosial apa ya (annoyed)
seng salah sopo ya? kekeke
[bertanya-tanya] harga diri, bisakah dibeli?
Hauahahaha, pelajaran opo meneh kuwi. PKN 🙂
Harga diri? Masih Ndoro, setiap saya mendongak ke atas menatap langit, di sana kuletakkan!
Wlah, itu anaknya blogger kali yah Ndoro? , dulu PMP, sekarang PKN sama aja tetap ajah outputnya seperti sekarang ini semua
Pmp, ppkn, pkn = Propaganda ndak mutu
Saya bukan caleg. Jadi harga diri saya — setidaknya menurut anak itu — masih bagus, Ndoro. 😀
Kalau liat fotho para dagelan itu hanya satu kata “MENYEBALKAN !!!”.
lihat BBM semalam, melihat caleg Eggy dan sapa satu lagi itu.. yg satu muncul sesuai posternya, pake baju Superman, satunya lagi pake baju Godam. Copyright infrigement aside, dua orang itu terlihat tampak bodoh di BBM semalam. Hihi, mungkin mereka berpikir menjadi caleg = menjadi lelucon. Atau mereka memang sudah tak punya harga diri lagi, sehingga tak bisa membedakan antara menjadi caleg atau menjadi pelawak.
@restlessangel,
Iya tuh ih, masa definisi harga dirinya kayak gitu? *protes*
Ndoro, kayaknya ibu zaman sekarang udah ngga njahit baju lagi deh
*ibu-yang-jarang-ke-dapur-kecuali-untuk-goreng-telur
wah, keren jg ceritanya ndoro .
emang caleg skrg minim harga diri
guru yang anehhhhh
anak laki-laki kecil yang aku gendong di kaliurang itu sekarang udah kelas berapa?
kebetulan sama, kelas 3 juga, na 😀
untung bukan foto ayahnya… 😀
Kalau itu yang dikirim, harusnya bapaknya panik setengah mati.
btw,
Tukang becak dan tukang sapu jalanan nggak punya harga diri? Guru seharusnya fokus pada murid yang ngirim gambar itu.
betul sekali dnial…ini merupakan salah satu contoh komunikasi yang tidak terjalin secara baik saat KBM di Indonesia…
apa bedanya caleg sama tukang becak?
emang beda ya? baru tahu.
pendidikan awalnya saja sudah salah,
ntar gedhenya ya jadi SALAH KAPRAH.
gurunya lospokus nih
muridnya yang udah bener tuh 🙂
LoL… ngakak ndor bacanya…
tapi ada satu yang uwaneh, mosok tukang becak dan tukang sapu jalanan dibilang ndak punya harga diri? itu orangtua anak yang ngumpulin poto itu ditelpon ndak yo? ato bu gurune sing edan? sudah ngira e bilang nya,,, ckckck…
sekoin sama komen di atas (poe)
kenapa si guru itu pakai tanya, ketok-e bener cah iku ?
beuuuh sunggun luar biasa cerdas anak itu… hebaaaat!
.. yang di maksud harga diri sama guru itu apa ya ?? ..
kisah nyata, ya? 😀
ini bukan pengalaman pribadi toh, ndoro?
*nyokot kulkas*
Selamat hari selasa juga ndoro…dan saya yakin….Alhamdulilah saya masih punya harga diri 🙂 Insya Alloh 🙂
bertobatlah, ndoro
Wakakakak (lmao)
Hallo Ndor, mohon mangap jarang mampir ke sini
kelas 3 SD atau apa ndoro?
berarti didikan orangtua di rumahnya benar-benar mantap yah?=)
bwuahahahahah (lmao)..ndoro lagi curcol
true story masa kecilku koq bisa diposting di sini sih?,..
hehehe..tak kira anaknya ngasihin potonya bapaknya. sapa tau bapaknya caleg 😀
apakah itu berarti anak ini bisa menebak hati-nya caleg Ndoro?
sehinga tau caleg mana yang punya harga diri dan caleg mana yang gak punya harga diri..
wah, bsok klo pemilu mesti cari anak2 dulu nie. biar pas contrengan nya 😀
Hahahaaaaahaaaaa….sudah kuduga anaknya ndoro bawa gambar apa. Setelah 8 April bawa foto capres dan cawapres ya naaak….:))
emang harga diri tukang becak, tukang sapu jalanan serendah itu ya…
sampe di bilang ga punya harga diri…
klo mreka bisa protes tentunya mereka tidak mau dilahirkan seperti itu, pasti mereka milih jadi anak pejabat ” tapi bukan pejabat KORUPSI” wkkkkk
bu guru, anak saya memang calon rakyat yang cerdas…
wah kalo anakku bakal bawa fotonya Tom & Jerry…sukanya nonton itu je..
wakakakakakakkk kayaknya si anak tau banget deh permasalahan negeri ini…. caleg sabar yah… tu nasib kalian… 😆
kirain foto bapaknya/ibunya yg dibawa..
wah, anaknya canggih tuh ndoro.. keren deh.. kecil2 udah ngerti politik.. –> atau dia ga ngarti sama sekali yak?
1. Untung nggak bawa baliho…
2. Kira kira caleg yang mana, ndoro? Boleh kami tahu?
hahahha…bagus2!!setuju saya ama tuh anak..
“Jadi harga diri adalah penilaian seseorang terhadap diri orang lain. Orang lain menilai diri kita berdasarkan tingkah laku kita.”
“Harga diri seseorang berperan penting dalam pergaulan. Orang yang harga dirinya baik adalah jika orang itu bertingkah laku sesuai norma. Sebaliknya, orang yang harga dirinya tidak baik adalah orang tingkah lakunya tidak sesuai norma.”
Pakdhe, kalau begitu harga diri itu bisa berubah-ubah ya nilainya, jika norma di masyarakat juga berubah.
Misalnya, kalau jaman dulu, seingat saya, ibu mengajarkan saya “norma” untuk membela yang lemah, jadi misalnya kalau kita naik bis, kursi pada penuh, lalu seorang wanita hamil naik dan berdiri, atau seorang bapak tua yang tertatih-tatih masuk, maka saya dianjurkan untuk berdiri dan mempersilakan ibu atau bapak itu untuk duduk. Kalau saya melakukan itu, pada waktu itu, maka berarti harga diri saya baik.
Lalu kalau sekarang, dengan “norma” individualisme dan EGP-nya, dimana kalau saya berdiri dan dan mempersilakan mereka duduk, mungkin saya dianggap bodoh. Jadi harga diri saya tidak baik.
Kalau begitu, jika norma ukurannya, maka boleh jadi oleh si A, Sang Caleg itu dianngap harga dirinya baik, namun oleh si anak dianggap tidak baik karena “norma” yang mereka pakai berbeda.
Jadi gak usah pusing dengan harga diri. Karena menurut tiap orang bisa beda2.
Apa betul begitu, ki sanak.?
[he he serius amat! ;-)]
Kebanyakan orang melihat harga diri memang dari penilain subyektif atas tingkahlaku seseorang terutama ketaatan terhadap norma yang berlaku. tapi tidak sidikit orang melihat harga diri dari sudut sosial ekonomi. si ibu guru memperkirakan pemahaman anak bahwa harga diri seseorang itu dari sudut ekonomi walau sebelumnya sudah dijelaskan bukan itu.
dan ternyata sebagian besar anak-anak membawa foto tukang beca, pengemis atau yang tergolong miskin ditambah foto maling. dan hanya ada satu anak yg membawa foto yang berbeda. Mungkin anak ini tahu benar karakter caleg pada foster yang dibawanya itu, misalnya pernah berjanji tapi bohong atau lain-lain.
jadi foto yang dibawa kebanyakan anak mengambarkan pemahaman anak tentang harga diri yang dikaitkan dengan status sosial ekonomi. hal ini perlu pelurusan kembali oleh bu guru.
Hahahaha. Untung bukan capres, bos.
ahh,.. iki mesti si Bapak sebenarnya ga baca koran,..
tapi ngajari si Anak nya ikiii… 😀
Hahaha…tadinya kupikir foto bapaknya…..
caleg .. mungkin si anak juga bingung .. la katanya mau mewakili, koq gak pernah kontak-kontak, nanyain ada masalah apa kek …
atau paling gak kasih no hape/telpon atau email yang bisa dikontak
eh, tau-tau minta di contreng ..
kenal aja nggak ..
betul, tadinya saya pikir mau ngasih gambar bapaknya…
ato bapak si anak tu emang caleg??? hee…
caleg…caleg…bisaa ajaa!!
@sanggita,
believe it or not hari gini di ibukota negara maju pun masih ada ibu-ibu yang suka njait dan beragam hobi rumahan lainnya sambil mengerjakan house chores tanpa pembantu loh 🙂
wah kok dikat ndor… sambungane lebih nggegirisi mungkin…
Saya dulu sempat ikutan cerdas cermat P4 lho nDoro…Hapalan semuanya, termasuk definisi harga diri…Bahkan saya hapal sampul bukunya, warna hijau dengan logo garuda pancasila…Ampun…Jadi memori masa kecil nih ^_^
hahahaha……Caleg yang atk punya harga diri….bener tuh ndoro…banyak bertebaran dan berkeliaran ……..
wah ndoro buka font baru ya …. hayo yang jad caleg jangan mringas mringis aja….
Ndoro saya mau tanya,bapaknya anak itu caleg juga bukan????
Dan kebetulan caleg tsb adalah suami si ibu guru 😛
Di tengah cerita, saya bisa nebak endingnya, heheheh
tapi asli ngakak juga, hahahah, itu anak kritis berarti, berbakat jadi aktivis kelak
@Takodok
Pantesan ibu gurunya uring2an nelpon bapak si anak… 🙂
ha ha ha ha ha ha
ZEPAKATH!!!!!!!
*langsung kumpulin poster caleg sebelum di berantas Satpol PP*
apa yang mereka lihat itu yang mereka kecap
hmm.. pemahaman anak yang tidak umum..
tapi anak2 laennya kurang ngerti..
whikikik… anak ini pinter, justru anak-anak yang lain yang patut dipertanyakan, kenapa tukang becak, tukang sapu jalanan ga punya harga diri, lom tentu ndoro kakung, justru mereka itulah orang-orang yang mencari uang dengan tetesan keringan yang halal…. (bener ga..)
harga diri tidak bisa hanya berdasarkan norma. harga diri itu bagaimana cara kita menghargai diri sendiri, sehingga orang lain mau menghairgai kita. tentunya dengan tingkah laku atau lebih tepatnya akhlak (sorry selama ini aku nggak nemu padanan kata untuk akhlak di bahasa indonesia. eh ….kata ini dah masuk eyd ding).
.
Astopiluloo, Ndorooo….
Like father Like son, ‘kali yaa….
😆
poster caleg apa poster ayahnya juga? hahahah…
untungnya bukan fotonya bapaknya alias ndoro 😀
Betul…anak kecil aja tau…hehehehe…:D
hahaha…anak yang jenius rupanya. bisa menerawang caleg busuk. bapaknya pun belum tentu bilang caleg2 itu busuk.
kalau saya jadi gurunya, nilainya 100 hahahaha
wealah, tak kira bakalan ngumpulin fotoh ibu gurunyaaa…
😆
Saya malah mikirnya bakalan bawa foto ndoro *dikemplang*
Eh, pasti bawa fotonya caleg yang itu khan yang fotonya papanya Cintya Lamusu, Yang Mertuanya Surya Saputra???
*ngakak guling-guling*
Harga diri copet,pengemis emang nol,tp kalo tukang becak ma tukang sapu jalanan??
ahaha…. ndoro ngajari anaknya membenci caleg 😆
ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga dumunung ing busana, bukan begitu ndoro?
*mbakar menyan*
hihihi … tadinya kupikir malah si anak ngasih gambar porno lho Ndor.
Kayaknya, gurunya harus diberi pelajaran KPK…:} Sang guru juga nggak sadar harga dirinya juga dipertaruhkan.
Mewakili (secara tidak resmi) kaum tukang becak dan penyapu jalan,dengan ini saya menyataken protes keras,dengen pernyataan bahwa kaum kami adalah termasuk kaum yang harga dirinya ndak baik !
Selamat hari kemis ndoro, apakah sampeyan berkeinginan berteman dengen kaum kami ?
Alhamdulillah, masih punya harga diri. Kalo gak punya ya bisa bisa aku telanjang jalan obral sana sini 🙂
Btw, saya tidak menyalahkan gurunya pun tidak membenarkan anaknya. Bagaimanapun guru selalu punya sisi baik mengajarkan apa yang belum kita tahu, jika ada kesalahan sama seperti kita juga pernah melakukan. Sang anak karena kondisional di dicekoki janji palsu yang belum pernah dia nikmati.
¥$£€ Selamat minggon ndoro, mata uang menanti
Magnificent items from you, man. I have be aware your stuff prior to and you are just too wonderful. I really like what you have acquired here, really like what you’re saying and the way by which you assert it. You make it entertaining and you still care for to stay it smart. I can not wait to learn far more from you. This is really a great web site.