Lajang Pecas Ndahe

Juni 13, 2007 § 24 Komentar

Lelaki yang baik jidatnya udah ada tempelannya, sold out. Yang tersedia tinggal remah-remah, yang ndak mutu, ndesit, katro.

Ups. Itu bukan kata saya, loh. Itu kata seorang teman perempuan saya. Lajang. Umurnya baru thirty something. Smart and charming.

Kami berjumpa di sebuah kedai kopi di jantung Ibu Kota pada sebuah malam. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, wetan-kulon, topik pembicaraan kami sampai ke tema-tema kosmopolitan. Salah satunya ya itu tadi, soal relasi Mars dan Venus.

Awalnya saya bertanya kenapa dia masih lajang. Padahal dengan semua yang diraih dan dimilikinya sekarang, mestinya dia ndak susah cari pasangan.

Eh, dia malah nyerocos, ngerasani kaum adam yang katanya kebanyakan nggombal doang. “Laki-laki zaman sekarang itu cuma mau nyari duit dan seks dari perempuan, Mas,” katanya.

Ups. Tuduhan yang gegabah pikir saya. Tapi, saya biarkan dia ngudo roso dulu. Saya malah jadi penasaran ingin tahu pandangannya lebih jauh.

“Bagaimana sampean bisa sampai menyimpulkan begitu, Jeng?”

“Ah, Mas ini kura-kura dalam perahu. Mana ada lelaki yang mau ndeketin perempuan hanya untuk ngobrol, diskusi, atau apa itu kata sampean, pencerahan? Ndak ada Mas. Itu cuma ada di negeri dongeng. Ngimpi, Mas. Laki-laki itu ya maunya cuma ini, ini, atau ini,” katanya sambil menunjuk dompetnya yang bersimbol huruf LV, dada, dan bagian bawah perutnya.

Saya melengos pura-pura ndak lihat. Untung kedai itu agak remang-remang sehingga wajah saya yang mungkin sudah berubah ungu ndak kelihatan. Tiba-tiba saya ingat seleb-seleb perempuan yang nikah, cerai, nikah lagi, cerai lagi itu.

“Ah, ini pasti gara-gara sampean sering dikecewakan laki-laki yo, Jeng?”

“Asem, ki!” umpatnya sambil melempar serbet.

Marlboro mentol hijaunya dijentikkan ke asbak. Hmm, wangi Chanel menyergap hidung saya. Ah, rupanya dia belum pernah berubah. Sayup-sayup saya mendengar speaker di pojok atas meja kami mengalunkan suara Asti Asmodiwati. Lagunya Satu Jam Saja.

“Padahal kan ndak semua laki-laki gombal, Jeng,” saya menyoba menetralisir pesonanya.

“Memang, Mas. Saya tahu itu. Tapi, laki-laki yang baik itu cepet laku, ya seperti sampean ini.”

Halah. Modyar aku.

“Mas kan tahu, jumlah perempuan itu lebih banyak dari laki-laki. Untuk nyari satu saja, kompetisinya ketat, Mas. Kami ini, para femina, harus berebut sesuatu yang jumlahnya kian menipis. Siapa cepat, dia dapat. Yang telat silakan gigit jari. Saya termasuk yang sampai sekarang gigit jari,” katanya.

“Mosok segitunya sih, Jeng?”

“Ealah sampean kok ndak percaya sih, Mas. Dan, ini yang menarik Mas, saya kok biasanya ngerasa cocok, nyambung gitu, kalau bertemu pria-pria yang umurnya jauh di atas saya. Yang sebaya itu ndak ada yang mutu. Kebanyakan ndak tahu apa yang mereka mau. Repot, kan? Dia aja ndak tahu apa yang dia mau, apalagi saya. Males, Mas.

Saya pernah nyoba deket-deket dengan cowok sepantaran, eh lah kok malah jadi baby sitting. Aku emoh, Mas. Aku kan pengennya laki-laki yang bisa ngemong, bukan sebaliknya. Saya kan juga pengen disayang-sayang, Mas. Dipeluk-peluk. Dimanja gitu …, ” katanya sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih.

Halah, modyar maneh aku. Blaik!

“Pantes, sampean banyak bergaul dengan bapak-bapak dan om-om itu ya, Jeng?”

Dia ngakak. Bibirnya yang merah menyeruput gelas berisi jus jeruk di meja. Bekas lipstik terlihat menempel di sedotan plastik itu. Saya tergoda ingin mengelapnya.

Tiba-tiba handphone-nya berdering. Masih nada yang sama ketika saya mengenalnya dulu.

“Halooow, Mas. Apa kabar? Baru landing? Oh, sudah dijemput … Blablabla … ”

Saya mengalihkan perhatian dengan membaca majalah. Lima menit kemudian dia meletakkan telepon. Matanya terlihat basah. Saya ndak perlu bertanya apa yang terjadi.”

“Pulang yuk, Mas. Tolong anterin saya cari taksi dong,” ajaknya tiba-tiba sambil ringkes-ringkes tas, mematikan Marlboro mentol hijau kesepuluh yang baru setengah diisapnya.

Saya tersenyum dan berdiri. Sayup-sayup saya mendengar suara The Beatles dari speaker di atas meja kami, “The long and winding road … “

Tagged: , , , ,

§ 24 Responses to Lajang Pecas Ndahe

Tinggalkan Balasan ke ning Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Lajang Pecas Ndahe at Ndoro Kakung.

meta

%d blogger menyukai ini: